Dimuat di Harian Jogja, Selasa 22 Juni 2010
(Judul: Tarif Listrik Gratis, Tidak Mungkin)
Pasokan listrik dengan tarif terjangkau merupakan keinginan segenap lapisan masyarakat. Pemerintah berperan paling penting untuk memenuhinya, sebab penyediaan listrik memang dimonopoli pemerintah. Namun listrik bukanlah barang publik murni, dimana tiap orang bisa mengakses tanpa membayar. Akan tetapi, konsumen harus mengeluarkan sejumlah uang sesuai dengan pemakaiannya. Ini karena eksploitasi energi tersebut memerlukan biaya yang besar.
Namun sudah seharusnya penentuan tarif listrik disesuaikan dengan kemampuan ekonomi konsumen. Harga yang sama untuk semua golongan konsumen justru menimbulkan ketidakadilan. Karena perbedaan kemampaun ini, Dirut PLN melontarkan ide subsidi listrik 100 persen kepada konsumen yang tergolong miskin. Berdasarkan data PLN, yang tergolong miskin sebanyak 20 juta konsumen. Mereka memiliki listrik 450 kWh, dimana kira-kira memiliki lima lampu bolam ditambah dengan TV, radio, VCD, rice cooker yang dipakai bergantian dengan seterika dan kipas angin.
Pada dasarnya, kebijakan listrik gratis akan menguntungkan konsumen yang miskin, sebab mereka bisa memperoleh pasokan listrik tanpa pengorbanan. Selain itu, anggaran yang dulunya untuk bayar listrik bisa dialokasikan untuk kebutuhan lain, seperti makanan, biaya sekolah, dan lain-lain. Namun bukan berarti kebijakan ini tidak menimbulkan kerugian. Bahkan, bisa jadi kebijakan listrik gratis tidak tepat diterapkan karena sejumlah hal.
Pertama, penyediaan listrik gratis haruslah diikuti dengan kenaikan pendapatan PLN, salah satunya dengan menaikkan tarif listrik untuk golongan lain, seperti dunia usaha dan konsumen menengah ke atas. Bagi dunia usaha, kenaikan tarif listrik akan menaikkan biaya produksi, yang bisa berimplikasi pada kenaikan harga output. Namun barangkali pilihan menaikkan harga output akan dilakukan bila tidak ada alternatif lain lagi, sebab kenaikan biaya produksi justru akan melemahkan daya saing. Oleh karena itu, terlebih dahulu pengusaha akan merasionalisasi jumlah pekerja untuk menekan biaya, sehingga dipastikan akan memunculkan penganggur baru.
Kedua, penggunaan listrik tidak akan terkontrol bila digratiskan. Ini karena konsumen tidak mengeluarkan biaya tambahan dari setiap tambahan penggunaan listrik. Secara teoritis, instrumen harga diperlukan untuk memberikan batasan dalam konsumsi. Makin tinggi harga, permintaan makin rendah. Sebaliknya, makin rendah harga, permintaan makin tinggi. Nah, bila digratiskan, penggunaan listrik akan meningkat drastis. Tentunya, penggunaan listrik yang tidak terkontrol tersebut akan meningkatkan beban subsidi yang harus ditanggung PLN.
Kedua persoalan di atas melatarbelakangi perlunya mengkritisi kebijakan ini. Menurut penulis, penyediaan listrik gratis kepada golongan miskin bukanlah kebijakan yang tepat, meski memang sangat populis. Karena listrik bukan barang publik murni, konsumen yang ingin memanfaatkannya haruslah berkorban. Hanya saja yang perlu diperhatikan, harga untuk semua golongan konsumen tidak boleh disamakan, melainkan harus disesuaikan dengan kemampuan tiap golongan. Intinya, tarif listrik tersebut bisa dijangkau. []
(Judul: Tarif Listrik Gratis, Tidak Mungkin)
Pasokan listrik dengan tarif terjangkau merupakan keinginan segenap lapisan masyarakat. Pemerintah berperan paling penting untuk memenuhinya, sebab penyediaan listrik memang dimonopoli pemerintah. Namun listrik bukanlah barang publik murni, dimana tiap orang bisa mengakses tanpa membayar. Akan tetapi, konsumen harus mengeluarkan sejumlah uang sesuai dengan pemakaiannya. Ini karena eksploitasi energi tersebut memerlukan biaya yang besar.
Namun sudah seharusnya penentuan tarif listrik disesuaikan dengan kemampuan ekonomi konsumen. Harga yang sama untuk semua golongan konsumen justru menimbulkan ketidakadilan. Karena perbedaan kemampaun ini, Dirut PLN melontarkan ide subsidi listrik 100 persen kepada konsumen yang tergolong miskin. Berdasarkan data PLN, yang tergolong miskin sebanyak 20 juta konsumen. Mereka memiliki listrik 450 kWh, dimana kira-kira memiliki lima lampu bolam ditambah dengan TV, radio, VCD, rice cooker yang dipakai bergantian dengan seterika dan kipas angin.
Pada dasarnya, kebijakan listrik gratis akan menguntungkan konsumen yang miskin, sebab mereka bisa memperoleh pasokan listrik tanpa pengorbanan. Selain itu, anggaran yang dulunya untuk bayar listrik bisa dialokasikan untuk kebutuhan lain, seperti makanan, biaya sekolah, dan lain-lain. Namun bukan berarti kebijakan ini tidak menimbulkan kerugian. Bahkan, bisa jadi kebijakan listrik gratis tidak tepat diterapkan karena sejumlah hal.
Pertama, penyediaan listrik gratis haruslah diikuti dengan kenaikan pendapatan PLN, salah satunya dengan menaikkan tarif listrik untuk golongan lain, seperti dunia usaha dan konsumen menengah ke atas. Bagi dunia usaha, kenaikan tarif listrik akan menaikkan biaya produksi, yang bisa berimplikasi pada kenaikan harga output. Namun barangkali pilihan menaikkan harga output akan dilakukan bila tidak ada alternatif lain lagi, sebab kenaikan biaya produksi justru akan melemahkan daya saing. Oleh karena itu, terlebih dahulu pengusaha akan merasionalisasi jumlah pekerja untuk menekan biaya, sehingga dipastikan akan memunculkan penganggur baru.
Kedua, penggunaan listrik tidak akan terkontrol bila digratiskan. Ini karena konsumen tidak mengeluarkan biaya tambahan dari setiap tambahan penggunaan listrik. Secara teoritis, instrumen harga diperlukan untuk memberikan batasan dalam konsumsi. Makin tinggi harga, permintaan makin rendah. Sebaliknya, makin rendah harga, permintaan makin tinggi. Nah, bila digratiskan, penggunaan listrik akan meningkat drastis. Tentunya, penggunaan listrik yang tidak terkontrol tersebut akan meningkatkan beban subsidi yang harus ditanggung PLN.
Kedua persoalan di atas melatarbelakangi perlunya mengkritisi kebijakan ini. Menurut penulis, penyediaan listrik gratis kepada golongan miskin bukanlah kebijakan yang tepat, meski memang sangat populis. Karena listrik bukan barang publik murni, konsumen yang ingin memanfaatkannya haruslah berkorban. Hanya saja yang perlu diperhatikan, harga untuk semua golongan konsumen tidak boleh disamakan, melainkan harus disesuaikan dengan kemampuan tiap golongan. Intinya, tarif listrik tersebut bisa dijangkau. []