Dimuat di Seputar Indonesia, Sabtu 11 Juli 2009
Pesta demokrasi terbesar di negeri ini telah berlangsung 8 Juli kemarin. Meski masih terjadi banyak kekurangan, pemilihan presiden secara langsung ini berjalan dengan lancar dan tertib. Rakyat yang berusia 17 tahun ke atas, berbondong-bondong mendatangi TPS (Tempat Pemungutan Suara) untuk memilih pemimpinnya. Inilah masa di mana rakyat menentukan kandidat terbaik yang akan memimpin bangsa ini lima tahun ke depan. Tentunya, sebagai bangsa yang baru satu dekade mengalami reformasi, kemajuan yang dicapai dalam demokratisasi ini patut disyukuri.
Namun perlu diketahui bahwa pemilihan umum presiden merupakan prosesi yang melibatkan banyak pihak, serta rawan terjadi kecurangan yang dilakukan pihak satu ke pihak lainnya. Pun, kerap kali panitia pelaksana pemilu pun belum siap secara utuh melaksanakan pesta rakyat ini sehingga pihak yang berkompetisi merasa dirugikan, seperti kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dipermasalahkan oleh sejumlah calon presiden. Tapi, seiring dengan berjalannya waktu, masa pencontrengan telah usai. Kalau pun DPT masih dipermasalahkan, tentu ada mekanisme yang telah disediakan untuk menyelesaikan masalah ini.
Kini, fokus perhatian beralih pada perhitungan suara yang diperoleh masing-masing calon. Setelah diperbolehkan oleh Mahkamah Konstitusi, sejumlah lembaga survei melakukan perhitungan cepat, lalu memublikasikan hasilnya bertepatan dengan hari pencontrengan. Kita mafhum, penggunaan metode perhitungan cepat bukanlah hal yang patut ditolak. Pasalnya, belajar dari pengalaman pemilu sebelumnya, hasil perhitungan manual KPU hampir sama dengan hasil perhitungan cepat yang dilakukan lembaga survei. Pun, perhitungan cepat ini menggunakan metode ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan. Tapi, tetap saja yang dijadikan acuan resmi adalah hasil perhitungan manual KPU. Karena itu, setiap pihak yang berkepentingan harus menunggu hasil resmi yang dikeluarkan KPU. Selama masa tunggu tersebut, dibutuhkan ketenangan oleh masing-masing pihak, serta yang terpenting adalah mengawasi perhitungan suara manual yang dilakukan KPU.
Perhitungan suara manual inilah yang patut dikawal oleh pihak-pihak yang berkepentingan, sebab proses ini sering kali diwarnai kecurangan. Kita perlu belajar dari pemilu legislatif, di mana ditemukan berbagai pelanggaran dalam masa perhitungan suara manual, seperti indikasi penggelembungan suara, rusaknya segel kotak suara, dan lain-lain. Tentunya kejadian ini akan merugikan masyarakat dan pihak-pihak yang berkompetisi.
Karena itu dibutuhkan kerja sama dari setiap pihak dalam mengawal proses perhitungan suara dari tingkat TPS sampai tingkat nasional ini. Pihak-pihak yang berperan dalam mengawal proses tersebut adalah kader partai, simpatisan partai, petugas keamanan, KPU, dan masyarakat umum. Tentu masing-masing pihak memiliki peran yang diemban, di mana bila dijalankan dengan optimal, kecurangan dalam proses perhitungan suara dapat diminimalkan. []
Pesta demokrasi terbesar di negeri ini telah berlangsung 8 Juli kemarin. Meski masih terjadi banyak kekurangan, pemilihan presiden secara langsung ini berjalan dengan lancar dan tertib. Rakyat yang berusia 17 tahun ke atas, berbondong-bondong mendatangi TPS (Tempat Pemungutan Suara) untuk memilih pemimpinnya. Inilah masa di mana rakyat menentukan kandidat terbaik yang akan memimpin bangsa ini lima tahun ke depan. Tentunya, sebagai bangsa yang baru satu dekade mengalami reformasi, kemajuan yang dicapai dalam demokratisasi ini patut disyukuri.
Namun perlu diketahui bahwa pemilihan umum presiden merupakan prosesi yang melibatkan banyak pihak, serta rawan terjadi kecurangan yang dilakukan pihak satu ke pihak lainnya. Pun, kerap kali panitia pelaksana pemilu pun belum siap secara utuh melaksanakan pesta rakyat ini sehingga pihak yang berkompetisi merasa dirugikan, seperti kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dipermasalahkan oleh sejumlah calon presiden. Tapi, seiring dengan berjalannya waktu, masa pencontrengan telah usai. Kalau pun DPT masih dipermasalahkan, tentu ada mekanisme yang telah disediakan untuk menyelesaikan masalah ini.
Kini, fokus perhatian beralih pada perhitungan suara yang diperoleh masing-masing calon. Setelah diperbolehkan oleh Mahkamah Konstitusi, sejumlah lembaga survei melakukan perhitungan cepat, lalu memublikasikan hasilnya bertepatan dengan hari pencontrengan. Kita mafhum, penggunaan metode perhitungan cepat bukanlah hal yang patut ditolak. Pasalnya, belajar dari pengalaman pemilu sebelumnya, hasil perhitungan manual KPU hampir sama dengan hasil perhitungan cepat yang dilakukan lembaga survei. Pun, perhitungan cepat ini menggunakan metode ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan. Tapi, tetap saja yang dijadikan acuan resmi adalah hasil perhitungan manual KPU. Karena itu, setiap pihak yang berkepentingan harus menunggu hasil resmi yang dikeluarkan KPU. Selama masa tunggu tersebut, dibutuhkan ketenangan oleh masing-masing pihak, serta yang terpenting adalah mengawasi perhitungan suara manual yang dilakukan KPU.
Perhitungan suara manual inilah yang patut dikawal oleh pihak-pihak yang berkepentingan, sebab proses ini sering kali diwarnai kecurangan. Kita perlu belajar dari pemilu legislatif, di mana ditemukan berbagai pelanggaran dalam masa perhitungan suara manual, seperti indikasi penggelembungan suara, rusaknya segel kotak suara, dan lain-lain. Tentunya kejadian ini akan merugikan masyarakat dan pihak-pihak yang berkompetisi.
Karena itu dibutuhkan kerja sama dari setiap pihak dalam mengawal proses perhitungan suara dari tingkat TPS sampai tingkat nasional ini. Pihak-pihak yang berperan dalam mengawal proses tersebut adalah kader partai, simpatisan partai, petugas keamanan, KPU, dan masyarakat umum. Tentu masing-masing pihak memiliki peran yang diemban, di mana bila dijalankan dengan optimal, kecurangan dalam proses perhitungan suara dapat diminimalkan. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar