23 Maret, 2009

Mengubah Paradigma Berpolitik

Dimuat di Seputar Indonesia, Senin 23 Maret 2009

Pemilu legislatif tinggal beberapa hari lagi. Di masa kampanye terbuka seperti yang berlangsung saat ini, partai politik berlomba-lomba berkampanye untuk memperoleh suara sebanyak-banyaknya dalam pemilu legislatif yang berlangsung 9 April mendatang. Pemilu legislatif ini sangat penting, sebab hasil pemilu ini sedikitnya banyak mempengaruhi pemilu presiden yang berlangsung tiga bulan setelah pemilu legislatif usai. Karena syarat mengajukan presiden dari partai politik atau gabungan partai politik, yaitu 25 persen suara sah nasional dan 20 persen kursi di legislatif (DPR), maka partai politik, terutama partai-partai besar, berlomba-lomba memenangkan pemilu legislatif ini. Tak heran bila kampanye digelar sebesar mungkin agar bisa memperoleh simpati dan suara rakyat di pemilihan nanti.

Berpolitik memang terkait erat dengan kampanye. Melalui kampanye, partai politik bisa menyosialisasikan visi dan misi atau janji-janjinya pada rakyat. Tentunya hal tersebut wajar dalam berpolitik. Namun bisa lain ceritanya bila kampanye partai politik berisi janji-janji yang sebetulnya tidak realistis tercapai atau hanya sekedar menggombal rakyat. Pengamatan penulis terhadap berbagai kampanye yang digelar partai politik, terlihat jelas isi kampanye yang mengobral janji-janji manis kepada rakyat.

Menurut penulis, fenomena demikian tidak lepas dari paradigma berpikir para politisi yang menganggap kekuasaan sebagai tujuan, bukan alat mencapai tujuan. Sehingga, tak heran bila para politisi tersebut mendesain janji-janji seindah mungkin agar rakyat bisa tergombal dengan janji tersebut. Memang dalam kampanye tersebut para politisi tidak secara eksplisit menyatakan kalau tujuannya adalah meraih kekuasaan, tapi sangat kentara dari kualitas janji-janji yang diobral. Kalau realitas seperti ini terus terjadi, nantinya rakyat Indonesialah yang menjadi korban.

Berbeda halnya bila paradigma berpikir yang menempatkan kekuasaan sebagai alat mencapai tujuan, sebagaimana tujuan yang tercantum dalam pembukaan UUD 1994, yaitu (1) Melindungi segenap bangsa Indonesia, (2) Memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, (4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia. Kalau menggunakan paradigma demikian, tentunya politisi akan berhati-hati dalam berjanji. Pasalnya, bagi politisi yang memiliki paradigma demikian, berjanji merupakan utang, sementara bila utang tidak dibayar maka konsekuensinya negatifnya bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat kelak.

Karena itu, ciri khas politisi seperti ini adalah mendesain janji-janjinya sedemikian rupa agar janji tersebut tampak realistis di mata rakyat. Janji-janjinya tidak perlu yang muluk-muluk atau menjanjikan sesuatu yang indah pada rakyat. Politisi semacam ini akan mengukur dan menimbang kemampuan dirinya sebelum berjanji, serta bertanya apakah mampu memenuhi janji tersebut. Selain itu, politisi seperti ini sadar betul bahwa kekuasaan merupakan amanah dari rakyat yang harus dipertanggung jawabkan, bukan merupakan tujuan yang nantinya malah menyebabkan rakyat makin menderita. Semoga saja karakter politisi seperti ini, dapat segera terlahir di kancah perpolitikan Indonesia.[]

2 komentar:

  1. Kalau diperhatikan
    tulisanmu akhir-akhir ini
    didominasi tema politik ran?
    menyesuaikan dengan musim kah?
    atau memang terinsipirasi keadaan?
    hehehehe,,,
    keep on writing ran!
    dtunggu karya slnjtnya :)
    -ahel-

    BalasHapus
  2. emm, saya banyak terinspirasi oleh keadaan saat ini. banyak hal yang ingin saya tulis mengenai kondisi perpolitikan di Indonesia. terima kasih sudah mampir di blog saya.

    BalasHapus