Seputar Indonesia pada Rabu, 11 Maret 2009
Logikanya, perbankan akan menurunkan suku bunga kredit bila Bank Indonesia atau BI menurunkan suku bunga acuan (BI rate). Namun logika ini tampaknya belum berlaku di Indonesia. Terbukti, meski BI rate turun, perbankan belum menurunkan suku bunga kredit.
Secara teoritis, BI rate merupakan salah satu instrumen BI untuk mempengaruhi dinamika moneter dan perbankan di Indonesia. Bila BI rate diturunkan, ini mengindikasikan kebijakan moneter yang longgar, artinya BI menginginkan adanya stimulus untuk menggerakkan perekonomian. Biasanya dalam kondisi resesi atau terjadinya perlambatan ekonomi, BI rate diturunkan. Sementara bila booming, BI rate dinaikkan. Selain BI rate, terdapat instrumen lain seperti penetapan Giro Wajib Minimum, Operasi Pasar Terbuka, dan Moral Suasion. Instrumen tersebut digunakan BI dalam salah tugasnya, yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter.
Dalam merespons lambatnya pertumbuhan ekonomi, BI turut ambil peran untuk menggairahkan ekonomi domestik. Pada 3 Maret 2009, BI menurunkan kembali BI rate ke posisi 7,75% dari posisi 8,25%. Langkah ini diambil setelah melihat perkembangan ekonomi domestik dan internasional, khususnya menyangkut terjadinya krisis global yang masih berlangsung hingga saat ini. Perlambatan ekonomi global berdampak pada menurunnya aktivitas produksi domestik, terutama melalui perdagangan internasional. Memang dampak yang dialami Indonesia tidak sebesar dampak yang dialami negara Malaysia dan Singapura karena rasio ekspor terhadap PDB hanya 29% (tahun 2007), sementara Malaysia dan Singapura masing-masing sebesar 110% dan 230%. Namun tetap saja, perlambatan tersebut menekan industri di dalam negeri.
Turunnya BI rate diharapkan menjadi stimulus untuk menggerakkan ekonomi domestik melalui peningkatan investasi. Diakui sektor swasta, khususnya di sektor riil sangat membutuhkan bantuan kapital sebagai tambahan untuk tetap menggerakkan usahanya. Karena itu, pengusaha membutuhkan dana segar agar dapat membiayai aktivitas produksi, sehingga tenaga kerja dapat terus bekerja dan perusahaan tetap menghasilkan produk. Bila sektor riil tetap menghasilkan produk, terlebih lagi bila meningkat, secara umum akan tetap menggerakkan perekonomian domestik.
Perbankan sebagai penyuplai dana, memegang peran penting dalam menyelamatkan sektor riil. Pasalnya dalam kondisi ekonomi yang kurang normal seperti saat ini, pengusaha membutuhkan kemudahan kredit melalui penurunan tarif bunga. Artinya, biaya yang dikeluarkan pengusaha karena meminjam bunga di bank dapat diminimalkan agar total biaya menjadi minimal. Bagi perbankan, terbuka peluang menurunkan suku bunga kredit karena BI rate juga telah turun. Saat BI rate 8,25%, suku bunga kredit perbankan berkisar 14 – 15%. Namun suku bunga kredit tetap bertahan di posisi tersebut meski BI rate sudah di posisi 7,75%. Tentunya, penurunan BI rate ini tidak akan berdampak pada sektor riil kalau perbankan tidak menurunkan suku bunga kredit. Mestinya, suku bunga kredit sudah bisa diturunkan ke level 12 – 13%.
BI memang tidak punya kekuatan lebih untuk mempengaruhi suku bunga kredit, selain melalui penetapan BI rate. Karena itu, bila BI rate kurang signifikan pengaruhnya, mestinya pemerintah sebagai pemilik bank, terutama bank berplat merah memberikan himbauan kepada manajemen bank agar menurunkan suku bunga. Insentif dapat diberikan pada bank BUMN yang berani menurunkan suku bunga kredit. Tentunya, pemerintah bisa mendesain insentif yang tepat bagi bank-bank yang menurunkan suku bunga kredit. []
Mahasiswa Ilmu Ekonomi dan Aktivis HMI UGM
Logikanya, perbankan akan menurunkan suku bunga kredit bila Bank Indonesia atau BI menurunkan suku bunga acuan (BI rate). Namun logika ini tampaknya belum berlaku di Indonesia. Terbukti, meski BI rate turun, perbankan belum menurunkan suku bunga kredit.
Secara teoritis, BI rate merupakan salah satu instrumen BI untuk mempengaruhi dinamika moneter dan perbankan di Indonesia. Bila BI rate diturunkan, ini mengindikasikan kebijakan moneter yang longgar, artinya BI menginginkan adanya stimulus untuk menggerakkan perekonomian. Biasanya dalam kondisi resesi atau terjadinya perlambatan ekonomi, BI rate diturunkan. Sementara bila booming, BI rate dinaikkan. Selain BI rate, terdapat instrumen lain seperti penetapan Giro Wajib Minimum, Operasi Pasar Terbuka, dan Moral Suasion. Instrumen tersebut digunakan BI dalam salah tugasnya, yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter.
Dalam merespons lambatnya pertumbuhan ekonomi, BI turut ambil peran untuk menggairahkan ekonomi domestik. Pada 3 Maret 2009, BI menurunkan kembali BI rate ke posisi 7,75% dari posisi 8,25%. Langkah ini diambil setelah melihat perkembangan ekonomi domestik dan internasional, khususnya menyangkut terjadinya krisis global yang masih berlangsung hingga saat ini. Perlambatan ekonomi global berdampak pada menurunnya aktivitas produksi domestik, terutama melalui perdagangan internasional. Memang dampak yang dialami Indonesia tidak sebesar dampak yang dialami negara Malaysia dan Singapura karena rasio ekspor terhadap PDB hanya 29% (tahun 2007), sementara Malaysia dan Singapura masing-masing sebesar 110% dan 230%. Namun tetap saja, perlambatan tersebut menekan industri di dalam negeri.
Turunnya BI rate diharapkan menjadi stimulus untuk menggerakkan ekonomi domestik melalui peningkatan investasi. Diakui sektor swasta, khususnya di sektor riil sangat membutuhkan bantuan kapital sebagai tambahan untuk tetap menggerakkan usahanya. Karena itu, pengusaha membutuhkan dana segar agar dapat membiayai aktivitas produksi, sehingga tenaga kerja dapat terus bekerja dan perusahaan tetap menghasilkan produk. Bila sektor riil tetap menghasilkan produk, terlebih lagi bila meningkat, secara umum akan tetap menggerakkan perekonomian domestik.
Perbankan sebagai penyuplai dana, memegang peran penting dalam menyelamatkan sektor riil. Pasalnya dalam kondisi ekonomi yang kurang normal seperti saat ini, pengusaha membutuhkan kemudahan kredit melalui penurunan tarif bunga. Artinya, biaya yang dikeluarkan pengusaha karena meminjam bunga di bank dapat diminimalkan agar total biaya menjadi minimal. Bagi perbankan, terbuka peluang menurunkan suku bunga kredit karena BI rate juga telah turun. Saat BI rate 8,25%, suku bunga kredit perbankan berkisar 14 – 15%. Namun suku bunga kredit tetap bertahan di posisi tersebut meski BI rate sudah di posisi 7,75%. Tentunya, penurunan BI rate ini tidak akan berdampak pada sektor riil kalau perbankan tidak menurunkan suku bunga kredit. Mestinya, suku bunga kredit sudah bisa diturunkan ke level 12 – 13%.
BI memang tidak punya kekuatan lebih untuk mempengaruhi suku bunga kredit, selain melalui penetapan BI rate. Karena itu, bila BI rate kurang signifikan pengaruhnya, mestinya pemerintah sebagai pemilik bank, terutama bank berplat merah memberikan himbauan kepada manajemen bank agar menurunkan suku bunga. Insentif dapat diberikan pada bank BUMN yang berani menurunkan suku bunga kredit. Tentunya, pemerintah bisa mendesain insentif yang tepat bagi bank-bank yang menurunkan suku bunga kredit. []
Mahasiswa Ilmu Ekonomi dan Aktivis HMI UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar