Seputar Indonesia, 4 Juni 2011
Saat ini, terdapat anggapan bahwa Indonesia sedang mengalami deindustrialisasi. Ini ditandai dengan makin menurunnya kontribusi sektor industri dalam pembentukan PDB. Pada 2004, kontribusi sektor industri mencapai 28 persen, lalu turun menjadi 26 persen pada 2009. Penyerapan tenaga kerja sektor industri juga turun dari 12,2 persen pada 2004 menjadi 11,8 persen pada 2008.
Akan tetapi, kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB masih paling tinggi dibanding sektor lain. Rata-rata kontribusi sektor industri pada 2004-2009 mencapai 27,4 persen, paling tinggi dibandingkan sektor lain. Namun pertumbuhan sektor tersebut tergolong sangat lambat, seperti halnya sektor pertanian. Pada 2004-2009, rata-rata industri manufaktur tumbuh hanya 3,9 persen per tahun dan sektor pertanian tumbuh hanya 3,7 persen per tahun. Bandingkan dengan pertumbuhan sektor angkutan, pergudangan, dan telekomunikasi yang mencapai 14, 6 persen dan sektor bangunan 7,8 persen. Kalau kondisi ini terus terjadi, bukan tidak mungkin kontribusi sektor industri tidak lagi dominan di beberapa tahun mendatang.
Tentu fenomena ini harus memperoleh perhatian pemerintah secepatnya. Kebijakan ekonomi seyogianya berorientasi pada peningkatan aktivitas industri domestik. Selama ini, kebijakan pemerintah belum sepenuhnya berorientasi pengembangan industri. Ini tampak pada liberalisasi perdagangan terhadap sejumlah produk industri yang justru merugikan industri domestik. Kita tahu bahwa sejumlah industri belum sepenuhnya mampu bersaing dengan industri asing, seperti tekstil, mainan, dan beberapa jenis industri lainnya. Kalau kebijakan liberalisasi terus dijalankan, tanpa meningkatkan daya saing, bisa dipastikan industri domestik akan mati secara perlahan.
Upaya untuk mengembangkan industri agar berdaya saing tinggi, terutama yang bersifat strategis, juga berarti membangun perekonomian yang tangguh. Terdapat beberapa keuntungan yang dapat diperoleh bila suatu negara memiliki industri yang tangguh. Teori ekonomi menyebutkan bahwa industri dapat menyediakan produk substitusi impor (tidak perlu mengimpor barang lagi dari luar negeri karena sudah disediakan oleh industri domestik), meningkatkan daya saing untuk barang ekspor, meningkatkan penggunaan teknologi produksi yang modern, serta dapat memproduksi output, menyerap tenaga kerja, dan menghasilkan tabungan untuk setiap rupiah investasi yang relatif tinggi.
Hanya saja, pengembangan industri yang tangguh berkaitan erat dengan dukungan pemerintah. Pemerintah dapat mendukung pengembangan industri melalui kebijakan, seperti kemudahan perizinan, beban pungutan pajak dan retribusi yang rendah, penyediaan infrastruktur fisik, penyediaan input produksi, dan lain-lain. Dari seabrek kebijakan tersebut, masalah infrastruktur merupakan sorotan utama. Lemahnya kualitas dan kuantitas infrastruktur yang mendukung aktivitas ekonomi, seperti pelabuhan, jalan, pembangkit listrik, telah menghambat aktivitas industri, yang berpotensi meningkatkan biaya ekonomi tinggi.
Padahal, para pelaku ekonomi akan berminat melakukan investasi tambahan pada suatu subsektor industri, atau berinvestasi pada subsektor industri lain bila memperoleh berbagai kemudahan dan ketersediaan infrastruktur. Dengan demikian, daya saing industri juga akan meningkat, sehingga mampu bersaing dengan produk dari luar negeri. Namun pencapaian ini baru bisa direalisasikan bila pemerintah benar-benar serius mendukung pengembangan industri.
Saat ini, terdapat anggapan bahwa Indonesia sedang mengalami deindustrialisasi. Ini ditandai dengan makin menurunnya kontribusi sektor industri dalam pembentukan PDB. Pada 2004, kontribusi sektor industri mencapai 28 persen, lalu turun menjadi 26 persen pada 2009. Penyerapan tenaga kerja sektor industri juga turun dari 12,2 persen pada 2004 menjadi 11,8 persen pada 2008.
Akan tetapi, kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB masih paling tinggi dibanding sektor lain. Rata-rata kontribusi sektor industri pada 2004-2009 mencapai 27,4 persen, paling tinggi dibandingkan sektor lain. Namun pertumbuhan sektor tersebut tergolong sangat lambat, seperti halnya sektor pertanian. Pada 2004-2009, rata-rata industri manufaktur tumbuh hanya 3,9 persen per tahun dan sektor pertanian tumbuh hanya 3,7 persen per tahun. Bandingkan dengan pertumbuhan sektor angkutan, pergudangan, dan telekomunikasi yang mencapai 14, 6 persen dan sektor bangunan 7,8 persen. Kalau kondisi ini terus terjadi, bukan tidak mungkin kontribusi sektor industri tidak lagi dominan di beberapa tahun mendatang.
Tentu fenomena ini harus memperoleh perhatian pemerintah secepatnya. Kebijakan ekonomi seyogianya berorientasi pada peningkatan aktivitas industri domestik. Selama ini, kebijakan pemerintah belum sepenuhnya berorientasi pengembangan industri. Ini tampak pada liberalisasi perdagangan terhadap sejumlah produk industri yang justru merugikan industri domestik. Kita tahu bahwa sejumlah industri belum sepenuhnya mampu bersaing dengan industri asing, seperti tekstil, mainan, dan beberapa jenis industri lainnya. Kalau kebijakan liberalisasi terus dijalankan, tanpa meningkatkan daya saing, bisa dipastikan industri domestik akan mati secara perlahan.
Upaya untuk mengembangkan industri agar berdaya saing tinggi, terutama yang bersifat strategis, juga berarti membangun perekonomian yang tangguh. Terdapat beberapa keuntungan yang dapat diperoleh bila suatu negara memiliki industri yang tangguh. Teori ekonomi menyebutkan bahwa industri dapat menyediakan produk substitusi impor (tidak perlu mengimpor barang lagi dari luar negeri karena sudah disediakan oleh industri domestik), meningkatkan daya saing untuk barang ekspor, meningkatkan penggunaan teknologi produksi yang modern, serta dapat memproduksi output, menyerap tenaga kerja, dan menghasilkan tabungan untuk setiap rupiah investasi yang relatif tinggi.
Hanya saja, pengembangan industri yang tangguh berkaitan erat dengan dukungan pemerintah. Pemerintah dapat mendukung pengembangan industri melalui kebijakan, seperti kemudahan perizinan, beban pungutan pajak dan retribusi yang rendah, penyediaan infrastruktur fisik, penyediaan input produksi, dan lain-lain. Dari seabrek kebijakan tersebut, masalah infrastruktur merupakan sorotan utama. Lemahnya kualitas dan kuantitas infrastruktur yang mendukung aktivitas ekonomi, seperti pelabuhan, jalan, pembangkit listrik, telah menghambat aktivitas industri, yang berpotensi meningkatkan biaya ekonomi tinggi.
Padahal, para pelaku ekonomi akan berminat melakukan investasi tambahan pada suatu subsektor industri, atau berinvestasi pada subsektor industri lain bila memperoleh berbagai kemudahan dan ketersediaan infrastruktur. Dengan demikian, daya saing industri juga akan meningkat, sehingga mampu bersaing dengan produk dari luar negeri. Namun pencapaian ini baru bisa direalisasikan bila pemerintah benar-benar serius mendukung pengembangan industri.