Seputar Indonesia, 11 Mei 2011
Indonesia memperoleh kesempatan memimpin ASEAN tahun ini. Tentu, peran yang dimainkan makin penting untuk membawa organisasi regional ini menuju tahap integrasi.
Telah umum diketahui, masih banyak kendala untuk mewujudkan integrasi ekonomi di antara 10 negara ASEAN. Persoalan ekonomi, politik, keamaman, dan berbagai persoalan lainnya merupakan penentu keberhasilan integrasi. Dibutuhkan komitmen dari setiap negara untuk menyelesaikan berbagai persoalan tersebut agar integrasi dapat diwujudkan.
Dalam teori ekonomi internasional, integrasi ekonomi antar negara utamanya ditujukan untuk meningkatkan arus perdagangan barang dan jasa dan memperlancar arus modal. Kondisi ini berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi, sehingga tingkat kesejahteraan secara keseluruhan mengalami peningkatan. Hanya saja, integrasi ekonomi tidak menjamin adanya pemerataan kemajuan antar negara. Pasalnya, kekuatan ekonomi dan stabilitas politik suatu negara menjadi faktor penentu untuk memperoleh manfaat dari integrasi.
Berkaca pada kondisi saat ini, negara-negara ASEAN memang berkomitmen untuk mewujudkan integrasi di bidang ekonomi. Hanya saja, keinginan tersebut belum didukung dengan langkah-langkah kongkrit yang menjadi prasyarat bagi terwujudnya integrasi. Cita-cita terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015 masih diliputi sikap pesimis dari berbagai kalangan. Pasalnya, beberapa negara ASEAN belum sepenuhnya legowo untuk hidup secara berdampingan dengan batasan yang sangat minimal. Sementara itu, konflik perebutan wilayah perbatasan antara Thailand-Kamboja merupakan satu dari beberapa persoalan yang mengganjal bagi terwujudnya integrasi. Ditambah lagi, integrasi ekonomi, yang menjadi fokus dalam perjanjian ASEAN, juga masih diliputi dengan kendala-kendala ekonomi berupa ketimpangan antar negara yang sangat mencolok. Di satu sisi, terdapat negara-negara seperti Singapura (US $ 57.238), Brunei Darussalam (US$ 42.200), dan Malaysia (US$ 14.603) yang merupakan negara-negara berpendapatan per kapita tinggi, sedangkan negara-negara seperti Vietnam (US$ 3.123), Laos (US$ 2.435), Kamboja (US$ 2.086), dan Myammar (US$ 1.246) masih tertinggal dari aspek tingkat kesejahteraan penduduknya pada 2010.
Berbagai persoalan politik dan keamanan, serta ketimpangan ekonomi antar negara yang masih mewarnai dinamika ASEAN, mestinya menyadarkan para kepala negara ASEAN untuk meninjau kembali target-target ambisius yang telah ditetapkan. Kalaupun tiap negara tetap berkomitmen mewujudkan integrasi, perlu segera diambil langkah-langkah kongkrit untuk menyelesaikan persoalan yang menghambat integrasi tersebut. Di sinilah peran pemimpin ASEAN untuk mengambil langkah-langkah dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Indonesia sebagai pemimpin ASEAN memang mengemban tugas berat, tapi sudah menjadi tugas pemimpin untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada di komunitasnya.
Persoaln mendesak yang harus segera diselesaikan adalah konflik wilayah perbatasan antar Thailand-Kamboja. Penyelesaian melalui dialog yang dibingkai dalam semangat bangsa satu rumpun, harus didorong oleh Indonesia. Selain itu, pemimpin ASEAN perlu memberikan perhatian khusus, berupa mekanisme untuk membantu negara-negara ASEAN yang masih tertinggal, agar mampu meraih pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga ketimpangan antar negara ASEAN dapat teratasi.[]
Indonesia memperoleh kesempatan memimpin ASEAN tahun ini. Tentu, peran yang dimainkan makin penting untuk membawa organisasi regional ini menuju tahap integrasi.
Telah umum diketahui, masih banyak kendala untuk mewujudkan integrasi ekonomi di antara 10 negara ASEAN. Persoalan ekonomi, politik, keamaman, dan berbagai persoalan lainnya merupakan penentu keberhasilan integrasi. Dibutuhkan komitmen dari setiap negara untuk menyelesaikan berbagai persoalan tersebut agar integrasi dapat diwujudkan.
Dalam teori ekonomi internasional, integrasi ekonomi antar negara utamanya ditujukan untuk meningkatkan arus perdagangan barang dan jasa dan memperlancar arus modal. Kondisi ini berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi, sehingga tingkat kesejahteraan secara keseluruhan mengalami peningkatan. Hanya saja, integrasi ekonomi tidak menjamin adanya pemerataan kemajuan antar negara. Pasalnya, kekuatan ekonomi dan stabilitas politik suatu negara menjadi faktor penentu untuk memperoleh manfaat dari integrasi.
Berkaca pada kondisi saat ini, negara-negara ASEAN memang berkomitmen untuk mewujudkan integrasi di bidang ekonomi. Hanya saja, keinginan tersebut belum didukung dengan langkah-langkah kongkrit yang menjadi prasyarat bagi terwujudnya integrasi. Cita-cita terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015 masih diliputi sikap pesimis dari berbagai kalangan. Pasalnya, beberapa negara ASEAN belum sepenuhnya legowo untuk hidup secara berdampingan dengan batasan yang sangat minimal. Sementara itu, konflik perebutan wilayah perbatasan antara Thailand-Kamboja merupakan satu dari beberapa persoalan yang mengganjal bagi terwujudnya integrasi. Ditambah lagi, integrasi ekonomi, yang menjadi fokus dalam perjanjian ASEAN, juga masih diliputi dengan kendala-kendala ekonomi berupa ketimpangan antar negara yang sangat mencolok. Di satu sisi, terdapat negara-negara seperti Singapura (US $ 57.238), Brunei Darussalam (US$ 42.200), dan Malaysia (US$ 14.603) yang merupakan negara-negara berpendapatan per kapita tinggi, sedangkan negara-negara seperti Vietnam (US$ 3.123), Laos (US$ 2.435), Kamboja (US$ 2.086), dan Myammar (US$ 1.246) masih tertinggal dari aspek tingkat kesejahteraan penduduknya pada 2010.
Berbagai persoalan politik dan keamanan, serta ketimpangan ekonomi antar negara yang masih mewarnai dinamika ASEAN, mestinya menyadarkan para kepala negara ASEAN untuk meninjau kembali target-target ambisius yang telah ditetapkan. Kalaupun tiap negara tetap berkomitmen mewujudkan integrasi, perlu segera diambil langkah-langkah kongkrit untuk menyelesaikan persoalan yang menghambat integrasi tersebut. Di sinilah peran pemimpin ASEAN untuk mengambil langkah-langkah dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Indonesia sebagai pemimpin ASEAN memang mengemban tugas berat, tapi sudah menjadi tugas pemimpin untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada di komunitasnya.
Persoaln mendesak yang harus segera diselesaikan adalah konflik wilayah perbatasan antar Thailand-Kamboja. Penyelesaian melalui dialog yang dibingkai dalam semangat bangsa satu rumpun, harus didorong oleh Indonesia. Selain itu, pemimpin ASEAN perlu memberikan perhatian khusus, berupa mekanisme untuk membantu negara-negara ASEAN yang masih tertinggal, agar mampu meraih pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga ketimpangan antar negara ASEAN dapat teratasi.[]