Seputar Indonesia, 17 Desember 2008
Akhir-akhir ini, kembali kita dipertontonkan fenomena kelangkaan elpiji di tanah air. Memang kelangkaan ini bukanlah fenomena baru, hanya saja menimbulkan pertanyaan besar, mengapa kelangkaan elpiji tak kunjung selesai?. Tapi satu hal yang pasti, golongan rakyat kurang mampu lah yang menjadi korban atas kelangkaan elpiji bersubsidi ini.
Di sejumlah daerah di pulau Jawa, seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur kita temui fenomena antrean panjang untuk membeli elpiji 3 kg. Bahkan, pilihan menginap di tempat pembelian kerap kali harus dilakoni demi mendapatkan elpiji bersubsidi tersebut. Boleh dibilang, elpiji merupakan barang yang cukup penting bagi kelangsungan hidup masyarakat, bukan hanya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tapi juga keperluan operasional usaha. Kelangkaan elpiji akan mempersulit aktivitas produksi, sehingga dampak negatifnya makin meluas pada kondisi ekonomi. Sebab, bila produksi kurang lancar, maka pendapatan pengusaha yang bergantung pada elpiji dipastikan berkurang sehingga nantinya mempengaruhi pula kesejahteraan masyarakat luas.
Namun pemerintah berdalih, kelangkaan elpiji disebabkan oleh hal teknis dan faktor permintaan yang meningkat di bulan Desember ini. Kelangkaan elpiji terjadi karena beberapa kilang sedang bermasalah. Kilang di Balongan sedang mengalami perbaikan, sementara kilang di Cilacap mengalami gangguan. Oleh karenanya, distribusi elpiji ke masyarakat kurang optimal. Alasan lainnya, permintaan elpiji meningkat karena di bulan ini, terdapat beberapa peringatan dan perayaan, seperti hari raya Idul Kurban, Natal, dan Tahun Baru. Dalam keadaan demikian, permintaan masyarakat terhadap elpiji bersubsidi meningkat, sementara pasokannya sedikit bermasalah. Akibatnya, terjadi kelangkaan elpiji yang membuat masyarakat, khususnya golongan kurang mampu yang menjadi sasaran elpiji bersubsidi harus bersusah payah untuk memperoleh barang tersebut.
Ironisnya, pemerintah telah mencanangkan konversi minyak tanah ke gas dengan harapan masyarakat beralih dari penggunaan minyak tanah ke gas elpiji. Kelangkaan minyak tanah yang kerap terjadi, serta energi minyak yang memang makin berkurang, mendorong pemerintah mencanangkan kebijakan konversi ke gas ini. Namun kelangkaan gas elpiji menimbulkan pertanyaan, seriuskah pemerintah menjalankan program konversi ini?
Seyogianya, pemerintah tidak boleh lengah dalam memasok elpiji agar masyarakat makin mantap beralih dari minyak tanah ke elpiji. Sebab, bagaimana pun, tampaknya elpiji sudah diterima masyarakat, khususnya golongan menengah ke bawah. Hanya saja, pemerintah harus memperbaiki mekanisme distribusi elpiji, tidak sekedar memasok sebanyak-banyaknya. Distribusi ini harus mengarah pada kelompok masyarakat yang membutuhkan. Bila tidak, maka anggaran untuk menyubsidi elpiji dipastikan membengkak. Pun, tampaknya masyarakat golongan menengah ke atas cenderung beralih dari elpiji 12 kg ke 3 kg, mengingat hitungan harganya lebih murah. Oleh karenanya, distribusi elpiji harus tepat sasaran ke kelompok yang benar-benar kurang mampu. Sebaiknya diadakan mekanisme khusus, misal untuk pembelian elpiji bersubsidi, pembeli harus menunjukkan kupon yang menunjukkan bahwa dia kurang mampu dan pantas memperoleh elpiji bersubsidi atau elpiji 3 kg.
Akhir-akhir ini, kembali kita dipertontonkan fenomena kelangkaan elpiji di tanah air. Memang kelangkaan ini bukanlah fenomena baru, hanya saja menimbulkan pertanyaan besar, mengapa kelangkaan elpiji tak kunjung selesai?. Tapi satu hal yang pasti, golongan rakyat kurang mampu lah yang menjadi korban atas kelangkaan elpiji bersubsidi ini.
Di sejumlah daerah di pulau Jawa, seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur kita temui fenomena antrean panjang untuk membeli elpiji 3 kg. Bahkan, pilihan menginap di tempat pembelian kerap kali harus dilakoni demi mendapatkan elpiji bersubsidi tersebut. Boleh dibilang, elpiji merupakan barang yang cukup penting bagi kelangsungan hidup masyarakat, bukan hanya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tapi juga keperluan operasional usaha. Kelangkaan elpiji akan mempersulit aktivitas produksi, sehingga dampak negatifnya makin meluas pada kondisi ekonomi. Sebab, bila produksi kurang lancar, maka pendapatan pengusaha yang bergantung pada elpiji dipastikan berkurang sehingga nantinya mempengaruhi pula kesejahteraan masyarakat luas.
Namun pemerintah berdalih, kelangkaan elpiji disebabkan oleh hal teknis dan faktor permintaan yang meningkat di bulan Desember ini. Kelangkaan elpiji terjadi karena beberapa kilang sedang bermasalah. Kilang di Balongan sedang mengalami perbaikan, sementara kilang di Cilacap mengalami gangguan. Oleh karenanya, distribusi elpiji ke masyarakat kurang optimal. Alasan lainnya, permintaan elpiji meningkat karena di bulan ini, terdapat beberapa peringatan dan perayaan, seperti hari raya Idul Kurban, Natal, dan Tahun Baru. Dalam keadaan demikian, permintaan masyarakat terhadap elpiji bersubsidi meningkat, sementara pasokannya sedikit bermasalah. Akibatnya, terjadi kelangkaan elpiji yang membuat masyarakat, khususnya golongan kurang mampu yang menjadi sasaran elpiji bersubsidi harus bersusah payah untuk memperoleh barang tersebut.
Ironisnya, pemerintah telah mencanangkan konversi minyak tanah ke gas dengan harapan masyarakat beralih dari penggunaan minyak tanah ke gas elpiji. Kelangkaan minyak tanah yang kerap terjadi, serta energi minyak yang memang makin berkurang, mendorong pemerintah mencanangkan kebijakan konversi ke gas ini. Namun kelangkaan gas elpiji menimbulkan pertanyaan, seriuskah pemerintah menjalankan program konversi ini?
Seyogianya, pemerintah tidak boleh lengah dalam memasok elpiji agar masyarakat makin mantap beralih dari minyak tanah ke elpiji. Sebab, bagaimana pun, tampaknya elpiji sudah diterima masyarakat, khususnya golongan menengah ke bawah. Hanya saja, pemerintah harus memperbaiki mekanisme distribusi elpiji, tidak sekedar memasok sebanyak-banyaknya. Distribusi ini harus mengarah pada kelompok masyarakat yang membutuhkan. Bila tidak, maka anggaran untuk menyubsidi elpiji dipastikan membengkak. Pun, tampaknya masyarakat golongan menengah ke atas cenderung beralih dari elpiji 12 kg ke 3 kg, mengingat hitungan harganya lebih murah. Oleh karenanya, distribusi elpiji harus tepat sasaran ke kelompok yang benar-benar kurang mampu. Sebaiknya diadakan mekanisme khusus, misal untuk pembelian elpiji bersubsidi, pembeli harus menunjukkan kupon yang menunjukkan bahwa dia kurang mampu dan pantas memperoleh elpiji bersubsidi atau elpiji 3 kg.