Dimuat di Bisnis Indonesia, 3 Mei 2012
Pada 6 Februari 2012, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data
Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia untuk tahun 2011. Salah satu isu yang
diulas dalam publikasi ini adalah kontribusi pulau-pulau besar terhadap
pembentukan PDB. Dapat disimpulkan bahwa masih terjadi ketimpangan antar wilayah
di Indonesia, sehingga diperlukan langkah-langkah strategis untuk mengatasi
persoalan tersebut.
Kontribusi Jawa terhadap PDB sebesar 57,7 persen. Ini berarti,
lebih dari setengah PDB Indonesia disumbang oleh Jawa, sedangkan lima pulau
besar lainnya, yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua, dan Bali
dan Nusa Tenggara hanya berkontribusi sebesar 42,3 persen. Jika ditilik
kontribusi Jawa terhadap PDB, terdapat tiga provinsi yang memberikan kontribusi
paling besar terhadap PDB, yakni DKI Jakarta (16,5 persen) , Jawa Timur (14,7
persen), dan Jawa Barat (14,3). Ini berarti, kontribusi DKI Jakarta terhadap
PDB lebih tinggi dibanding Kalimantan dan Sulawesi yang masing-masing hanya
sebesar 9,7 persen dan 4,6 persen. Bahkan bila kontribusi dua pulau tersebut
terdapat PDB dijumlahkan, kontribusi DKI Jakarta masih lebih tinggi.
Ketimpangan antar wilayah tampaknya merupakan fenomena lumrah. Bank
Dunia, dalam publikasi World Development Report 2009, menyatakan bahwa produksi
terkonsentrasi di kota-kota besar, provinsi-provinsi utama, dan negara-negara
kaya. Ketimpangan wilayah terjadi di dalam suatu negara dan antar negara. Di
Mesir misalnya, Kairo berkontribusi lebih dari setengah terhadap pembentukan
PDB. Padahal, luas wilayah Kairo hanya 0,5 persen dari total wilayah Mesir. Di
level antar negara pun terjadi ketimpangan. Amerika Utara, Uni Eropa, dan
Jepang dengan jumlah penduduk kurang dari 1 miliar jiwa, ternyata menguasai ¾
kekayaan dunia.
Ketimpangan antar wilayah merupakan persoalan serius di Indonesia,
sebagaimana dipaparkan pada data di atas. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan
pemerintah untuk memeratakan hasil-hasil pembangunan, atau setidaknya
menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru di luar Jawa, belum begitu tampak
berhasil. Aliran investasi masih terpusat di wilayah-wilayah yang memang masuk
dalam kategori maju. Jika ditilik secara finansial, suatu proyek infrastruktur
yang dikerjakan oleh swasta pastinya akan digarap di wilayah-wilayah yang
menguntungkan. Proyek pembangunan jalan tol misalnya, akan lebih banyak digarap
di Jakarta atau kota-kota besar lainnya dibanding wilayah lain. Akibatnya,
pertumbuhan ekonomi hanya terjadi di wilayah-wilayah tertentu, sedangkan
wilayah lainnya tertinggal karena minim pihak swasta yang tertarik untuk
berinvestasi, terutama dalam pembangunan infrastruktur.
Tentu pembangunan infrastruktur merupakan kewajiban pemerintah,
baik level pusat maupun daerah. Infrastruktur meliputi banyak aspek, tapi
setidaknya bisa dibagi dua, yakni infrastruktur fisik dan non-fisik.
Infrastruktur fisik meliputi jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, bendungan,
jaringan air bersih, dan lain-lain. Infrastruktur ini diperlukan dalam
aktivitas ekonomi.. Ketersediaan infrastruktur merupakan salah satu daya tarik
bagi investor. Pasalnya, infrastruktur dapat memberikan kemudahan dalam
melakukan aktivitas ekonomi, serta yang paling penting adalah dapat
meminimalkan biaya. Selain infrastruktur fisik, yang tak kalah penting adalah
infrastruktur non-fisik, meliputi pendidikan, kesehatan, dan pelatihan
keterampilan. Pada prinsipnya, infrastruktur non fisik ditujukan untuk
menyediakan sumber daya manusia yang mumpuni, sehingga memiliki kapasitas dalam
mengelola sumber daya ekonomi menjadi produk yang bernilai tinggi. Jika sumber
daya manusia tersedia, baik secara kualitas maupun kuantitas, investor akan
tertarik untuk melakukan aktivitas ekonomi di daerah tersebut.
Upaya Pemerintah
Pemerintah Indonesia berupaya mengurangi ketimpangan antar wilayah
dengan memfokuskan pembangunan di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Fokus
pembangunan ini merupakan strategi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di
KTI, agar mampu sejajar dengan kemajuan ekonomi di Kawasan Barat Indonesia
(KBI).
Salah satu strateginya adalah meningkatkan aliran investasi ke
wilayah KTI. Investasi bisa bersumber dari pemerintah dan swasta. Untuk menarik
investasi swasta, langkah yang perlu dilakukan adalah memberikan fasilitas yang
menarik bagi investor, di antaranya adalah ketersediaan infrastruktur, fasilitas
fiskal dan non-fiskal yang memadai, serta kemudahan dalam perizinan. Pembiayaan
pembangunan infrastruktur bisa bersumber sepenuhnya dari pemerintah, atau
sepenuhnya dari swasta, atau kerjasama pemerintah dengan swasta. Adapun untuk
fasilitas fiskal dan non-fiskal, merupakan diskresi pemerintah, selama dinilai
menguntungkan bagi negara dalam jangka panjang. Sementara itu, kemudahan
perizinan kaitannya dengan kemudahan dalam mengurus proses pendirian usaha, sehingga
dapat mengurangi biaya transaksi.
Pada prinsipnya, perlu diciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru di
KTI. Potensi ekonomi di KTI tentu sangat melimpah dan tersebar di berbagai
wilayah. Namun, persoalannya adalah belum ada investor besar yang tertarik
untuk mengembangkan wilayah tersebut, atau berusaha di wilayah tersebut karena
tidak layak secara finansial. Karena itu, pemerintah perlu menyediakan berbagai
fasilitas kepada calon investor agar mereka tertarik berinvestasi di KTI. []