Seputar Indonesia, 15 Mei 2010
Masalah pengangguran di Indonesia merupakan salah satu masalah yang belum teratasi sampai saat ini. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, angka pengangguran memang mengalami penurunan. Data BPS menunjukkan pada Agustus 2004, jumlah angkatan kerja yang menganggur sebanyak 10,25 juta orang atau 9,9 persen dari total angkatan kerja. Selama 4 tahun berselang, jumlah pengangguran hanya turun menjadi 9,39 juta orang atau 8,39 persen dari total angkatan kerja. Penurunan angka pengangguran tersebut masih jauh di bawah target pemerintah sebesar 5,1 persen pada 2009.
Satu hal yang perlu menjadi perhatian adalah kecendrungan naiknya pengangguran terdidik, meski angka pengangguran total menurun. Pada Agustus 2008, BPS mencatat 600 ribu orang tergolong sebagai penganggur sarjana dan diploma sebesar 360 ribu orang. Bahkan, data jumlah pengangguran terdidik per Februari 2009 telah mencapai 1,1 juta orang. Ini berarti, telah terjadi peningkatan hampir dua kali lipat dari angka pada 2004 yang tercatat hanya sebesar 585 ribu orang. Secara persentase pun menunjukkan peningkatan dua kali lipat, dimana pada Februari 2009 sebesar 12 persen, naik dari 6 persen pada 2004.
Masih tingginya angka pengangguran, terutama pengangguran terdidik mengindikasikan bahwa masih terdapat banyak potensi yang bisa diberdayakan untuk meningkatkan produksi barang dan jasa nasional. Kenaikan produksi barang dan jasa berarti pula kenaikan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang sudah relatif tinggi, dimana tumbuh 4,5 persen pada 2009. Namun tingkat pertumbuhan tersebut masih dinilai kurang berkualitas bila dikaitkan dengan kemampuan menyerap tenaga kerja. Idealnya, setiap 1 persen pertumbuhan dapat menyerap 500 ribu orang tenaga kerja, tapi hanya sebesar 350 ribu orang yang bisa diserap.
Berangkat dari persoalan tersebut, terdapat dua poin penting yang perlu diperhatian. Pertama, lulusan perguruan tinggi yang tidak diserap oleh pasar tenaga kerja tentu menimbulkan opportunity cost yang tinggi. Angkatan kerja ini sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menuntut ilmu. Namun setelah lulus, ilmu dan keterampilannya tidak dimanfaatkan secara optimal. Karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah strategis supaya para penganggur terdidik dapat diberdayakan untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi, sehingga dapat menciptakan kesejahteraan setidaknya bagi dirinya sendiri.
Kedua, permasalahan ekonomi bangsa Indonesia saat ini terletak pada sisi penawaran. Pemerintah terlalu perhatian terhadap sisi permintaan, yakni dengan meningkatkan konsumsi. Peningkatan konsumsi memang akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, kenaikan konsumsi tidak selalu meningkatkan output domestik bila impor barang konsumsi juga meningkat. Karena itu, di samping mendorong permintaan agregat, pemerintah juga perlu mendorong penawaran agregat melalui peningkatan produksi domestik. Di sinilah dibutuhkan para entrepreneur domestik untuk menghasilkan barang dan jasa agar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan dapat tercapai. Kehadiran banyak entrepreneur juga dapat memperluas kesempatan kerja, sehingga dapat menekan angka pengangguran. Oleh karena itu, Pemerintah dan Perguruan Tinggi mestinya berperan utama untuk mendukung lahirnya para entrepreneur in
Masalah pengangguran di Indonesia merupakan salah satu masalah yang belum teratasi sampai saat ini. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, angka pengangguran memang mengalami penurunan. Data BPS menunjukkan pada Agustus 2004, jumlah angkatan kerja yang menganggur sebanyak 10,25 juta orang atau 9,9 persen dari total angkatan kerja. Selama 4 tahun berselang, jumlah pengangguran hanya turun menjadi 9,39 juta orang atau 8,39 persen dari total angkatan kerja. Penurunan angka pengangguran tersebut masih jauh di bawah target pemerintah sebesar 5,1 persen pada 2009.
Satu hal yang perlu menjadi perhatian adalah kecendrungan naiknya pengangguran terdidik, meski angka pengangguran total menurun. Pada Agustus 2008, BPS mencatat 600 ribu orang tergolong sebagai penganggur sarjana dan diploma sebesar 360 ribu orang. Bahkan, data jumlah pengangguran terdidik per Februari 2009 telah mencapai 1,1 juta orang. Ini berarti, telah terjadi peningkatan hampir dua kali lipat dari angka pada 2004 yang tercatat hanya sebesar 585 ribu orang. Secara persentase pun menunjukkan peningkatan dua kali lipat, dimana pada Februari 2009 sebesar 12 persen, naik dari 6 persen pada 2004.
Masih tingginya angka pengangguran, terutama pengangguran terdidik mengindikasikan bahwa masih terdapat banyak potensi yang bisa diberdayakan untuk meningkatkan produksi barang dan jasa nasional. Kenaikan produksi barang dan jasa berarti pula kenaikan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang sudah relatif tinggi, dimana tumbuh 4,5 persen pada 2009. Namun tingkat pertumbuhan tersebut masih dinilai kurang berkualitas bila dikaitkan dengan kemampuan menyerap tenaga kerja. Idealnya, setiap 1 persen pertumbuhan dapat menyerap 500 ribu orang tenaga kerja, tapi hanya sebesar 350 ribu orang yang bisa diserap.
Berangkat dari persoalan tersebut, terdapat dua poin penting yang perlu diperhatian. Pertama, lulusan perguruan tinggi yang tidak diserap oleh pasar tenaga kerja tentu menimbulkan opportunity cost yang tinggi. Angkatan kerja ini sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menuntut ilmu. Namun setelah lulus, ilmu dan keterampilannya tidak dimanfaatkan secara optimal. Karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah strategis supaya para penganggur terdidik dapat diberdayakan untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi, sehingga dapat menciptakan kesejahteraan setidaknya bagi dirinya sendiri.
Kedua, permasalahan ekonomi bangsa Indonesia saat ini terletak pada sisi penawaran. Pemerintah terlalu perhatian terhadap sisi permintaan, yakni dengan meningkatkan konsumsi. Peningkatan konsumsi memang akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, kenaikan konsumsi tidak selalu meningkatkan output domestik bila impor barang konsumsi juga meningkat. Karena itu, di samping mendorong permintaan agregat, pemerintah juga perlu mendorong penawaran agregat melalui peningkatan produksi domestik. Di sinilah dibutuhkan para entrepreneur domestik untuk menghasilkan barang dan jasa agar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan dapat tercapai. Kehadiran banyak entrepreneur juga dapat memperluas kesempatan kerja, sehingga dapat menekan angka pengangguran. Oleh karena itu, Pemerintah dan Perguruan Tinggi mestinya berperan utama untuk mendukung lahirnya para entrepreneur in