04 April, 2011

Merebut Minyak Libya

Dimuat di Sindo, 2 April 2011

AS, Inggris, dan Prancis menjadi negara terdepan dalam serangan militer di Libya. Dilandasi oleh resolusi Dewan Keamanan PBB 1973, pasukan koalisi yang dipimpin oleh tiga negara tersebut membombardir kekuatan militer pasukan pro-Khadafy. PBB menginginkan agar pemerintahan Khadafy mematuhi zona larangan terbang.

Perlindungan terhadap warga sipil yang dijadikan sasaran serangan pasukan pro-Khadafy merupakan tujuan utama operasi yang dinamakan Operasi Fajar Odyssey ini. PBB menilai bahwa pasukan pro-Khadafy tidak lagi menghiraukan nyawa warga sipil dalam upayanya menghancurkan kekuatan pasukan opisisi. Sebenarnya wajar saja bila pemerintahan Khadafy berusaha melemahkan kekuatan oposisi yang berusaha menggulingkan kekuasaannya. Stabilitas politik dan keamanan yang ingin diciptakan oleh Khadafy, adalah hal wajar yang pastinya juga dilakukan oleh setiap penguasa di setiap negara. Yang berbeda adalah cara untuk menghadapi oposisi. Yang terjadi di Libya saat ini adalah perang militer untuk melemahkan oposisi. Sebaliknya, oposisi juga menanggapi tekanan penguasa dengan kekuatan militer.

Dengan pengalaman dan persenjataan yang lebih canggih dibanding pasukan oposisi, pasukan pro-Khadafy dengan mudah akan melemahkan kekuatan militer oposisi. Namun dalam perang melawan oposisi, Khadafy dinilai telah mengabaikan kepentingan kemanusiaan, dengan menjadikan warga sipil sebagai sasaran serangan. Warga yang tidak terlibat dalam perang melawan Khadafy pun harus menjadi korban kemarahan rezim atas oposisi.

Hal inilah yang mendasari keprihatinan dunia, yang ditindaklanjuti dengan keluarnya resolusi PBB 1973 untuk membatasi aksi militer pasukan pro-Khadafy. Namun pemerintahan Khadafy tidak mengindahkan resolusi, sehingga Prancis, Inggris, dan AS yang dibantu oleh beberapa negara sekutu, memutuskan untuk melakukan serangan militer guna melumpuhkan kekuatan militer pasukan pro-Khadafy. Pertanyaannya, apakah tujuan dari serangan militer untuk melumpuhkan kekuatan militer pro-Khadafy bisa tercapai? Lantas, apakah ada tujuan lain di balik serangan tersebut?

Dengan persenjataan yang lebih lengkap, pasukan koalisi pastinya dengan mudah melumpuhkan kekuatan pasukan militer pro-Khadafy. Beberapa pusat militer pasukan pro-Khadafy telah dihancurkan oleh pasukan koalisi hanya dalam beberapa hari setelah operasi dimulai. Namun Khadafy justru menyatakan akan tetap bertahan, serta akan melakukan perlawanan terhadap pasukan koalisi. Di hadapan pendukungnya, Khadafy berpidato dengan dengan lantang bahwa “dalam jangka pendek, kita akan mengalahkan mereka, dan dalam jangka panjang kita akan menundukkan mereka”. Namun penulis menduga bahwa kekuatan militer pasukan pro-Khadafy tidak akan bertahan lama bila serangan demi serangan terus dilancarkan oleh koalisis. Dugaan ini muncul karena kekuatan militer pasukan koalisi jauh lebih canggih dibanding pasukan pro-Khadafy. Hanya saja, kondisi sebaliknya, dimana Khadafy muncul sebagai pemenang, juga bisa terjadi bila strategi perang yang diterapkan Khadafy lebih unggul dibanding pasukan koalisi. Waktulah yang akan menunjukkan siapa pemenang dari perang militer ini.

Meski Operasi Fajar Odyssey ini tampaknya hanya bermotif kemanusiaan, tapi di balik itu muncul dugaan mengenai motif lain, atau bahkan motif sesungguhnya dari serangan ini. Kepemilikan Libya terhadap cadangan minyak bumi yang menduduki peringkat ke-9 dunia ini dapat dijadikan titik pijak analisis. Tidak bisa dipungkiri, AS dan sejumlah negara barat berkepentingan untuk mengamankan cadangan minyaknya. Bila Libya berhasil ditaklukkan, negara-negara penakluk akan mudah mengontrol pemerintahan baru yang terbentuk. Dampaknya, minyak akan mengalir ke negara-negara penakluk dengan harga dan kuantitas yang menguntungkan bagi mereka.

Kalau dugaan ini benar, tentu bisa dipahami bila AS dan sekutunya akan berupaya keras untuk menaklukkan Libya. Kekuatan militer akan dikerahkan sedemikian rupa agar tujuan lain, atau bahkan tujuan sesungguhnya ini bisa tercapai. []