29 September, 2009

KPK, Korupsi, dan Kemajuan Ekonomi

Seputar Indonesia, Selasa, 29 September 2009

Dalam disiplin ilmu ekonomi, institusi memegang peran penting dalam mencapai kemajuan ekonomi. Berbagai studi menunjukkan, perbedaan institusi ekonomi akan menyebabkan perbedaan pada kemajuan ekonomi. Karena itu, institusi perlu didesain sedemikian rupa agar dapat mendukung kemajuan ekonomi.

Di Indonesia, institusi masih menghambat kemajuan ekonomi. Perilaku KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang terjadi di sejumlah lembaga pemerintahan menandakan betapa buruknya institusi kita. Padahal, hasil penelitian menunjukkan bahwa korupsi di beberapa negara memperlambat pertumbuhan ekonomi (Mauro, 1995). Dampak korupsi dapat dilihat pada enggannya para investor untuk menanamkan dananya, sebab khawatir terkena biaya yang tinggi (Ekonomi Biaya Tinggi).

Salah satu indikator yang digunakan investor adalah Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dipublikasikan tiap tahun oleh Transparency International. Responden dari survei ini adalah para pebisnis dari hampir seluruh dunia. Bila IPK makin baik, investor makin tertarik untuk menanamkan modalnya. Sebaliknya, bila IPK makin buruk, investor makin tidak tertarik untuk berusaha di negara tersebut. Patut disyukuri, IPK Indonesia makin baik, di mana mengalami peningkatan dari 2,3 pada 2007 menjadi 2,6 pada 2008. Diharapkan, 2009 dapat mencapai angka 3.

Diakui, peningkatan IPK ini tidak terlepas dari peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas korupsi di Indonesia. Selama ini, KPK dianggap sebagai lembaga yang paling berhasil dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, dibanding dengan Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Sejumlah petinggi negara dan daerah sudah berhasil ditahan KPK, mulai dari bupati, gubernur, menteri, anggota DPR, dan pejabat tinggi lainnya. Tentu saja, salah satu manfaat yang akan diperoleh dari massifnya pemberantasan korupsi ini adalah kemajuan ekonomi yang tercermin pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Namun kita patut kecewa dengan adanya kasus yang menimpa para pimpinan KPK. Dua pimpinan KPK, yakni Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, diduga terlibat kasus penyuapan. Sebelumnya, pimpinan KPK lainnya yakni Antazari Azhar sudah mendekam di tahanan karena diduga terlibat kasus pembunuhan. Praktis, pimpinan KPK yang bisa bertugas hanya dua orang. Tentu saja, publik dikejutkan dengan kasus ini, sebab KPK yang selama ini menjadi tumpuan masyarakat dalam memberantas korupsi, akhirnya berpotensi mandek karena sejumlah pimpinannya bermasalah.

Ancaman akan turunnya aksi pemberantasan korupsi di Indonesia ini memang patut diantisipasi. Pelemahan fungsi KPK menjadi pintu masuk terjadinya kondisi tersebut. Karena itu, ada beberapa hal yang perlu dilakukan agar KPK tetap menjadi lembaga yang kuat dalam memberantas korupsi. Pertama, masalah kepemimpinan di tubuh KPK harus diselesaikan. Kepolisian, sebagai pihak yang mengusut kasus ini, perlu kiranya bersikap profesional. Selama ini, tuduhan-tuduhan Polri terhadap dua pimpinan KPK tidak dapat dibuktikan. Padahal, status mereka sudah menjadi tersangka. Seyogianya, Polri harus menunjukkan bukti yang kuat sebelum menetapkan status pimpinan KPK ini. Kalau memang tidak terbukti, maka Polri harus mencabut status tersebut. Kedua, pemberantasan korupsi harus tetap berjalan meski sebagian pimpinan KPK terjerat kasus hukum. Pemberantasan korupsi dapat berjalan karena masih ada pimpinan KPK lainnya yang bisa menjalankan tugas, berupa pengambilan keputusan tertinggi. Ketiga, kiranya tidak dilakukan perubahan dalam kewenangan KPK. Fasilitas-fasilitas yang diberikan kepada KPK tetap harus dipertahankan. Bila kewenangan ini dicabut, tentu akan melemahkan peran KPK dalam memberantas korupsi. Keempat, dukungan masyarakat sangat dibutuhkan, terutama kalangan mahasiswa, untuk tetap menjaga agar tugas-tugas KPK dalam memberantas korupsi dapat terus berjalan, serta kewenangan KPK tetap dipertahankan. Tentu saja, usaha ini diharapkan dapat meminimalisir tindakan korupsi, sehingga dapat mendorong kemajuan dalam perekonomian bangsa Indonesia. []

27 September, 2009

Memasarkan Kegiatan Ramadhan

Suara Merdeka, Sabtu, 19 September 2009

Setiap bulan Ramadhan tiba, segenap umat Islam menyambutnya dengan gembira. Salah satu sebabnya, bulan ramadhan dapat dimanfaatkan untuk meng-upgrade dan meningkatkan derajat keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Selain berbagai aktivitas yang menjadi ciri khas bulan ramadhan, seperti ibadah puasa, tarawih, dan lain-lain, bulan ini diramaikan pula dengan beragam kegiatan yang bernuansa keIslaman, seperti diskusi, pengajian, dan lain-lain. Secara umum, kegiatan ini memperoleh sambutan positif dari masyarakat.

Mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat yang juga lekat dengan kegiatan-kegiatan yang bernuansa keIslaman pada bulan Ramadhan. Beberapa kegiatan yang kerap dilakukan adalah diskusi, pengajian, bedah buku, buka puasa yang diiringi dengan ceramah agama, dan lain-lain. Memang, sebagian besar kegiatan ini dilaksanakan di kampus, meski kadang-kadang dilaksanakan di luar kampus, seperti bakti sosial. Tentu saja, diharapkan kegiatan ini dapat melibatkan mahasiswa muslim dalam kuantitas yang cukup banyak, sehingga manfaat dari kegiatan ini dapat menyebar luas di kalangan mahasiswa.

Namun harapan tersebut tampaknya masih sulit diwujudkan. Berdasarkan pengamatan di kampus penulis, berbagai kegiatan bulan Ramadhan hanya diikuti oleh segelintir orang yang notabene juga aktif di organisasi dakwah kampus. Sementara itu, mahasiswa yang kadar keIslamannya masih kurang, justru tidak berminat mengikuti kegiatan tersebut. Menurut penulis, segmen ini mesti digarap oleh pelaksana kegiatan Ramadhan di kampus.

Bila yang mengikuti kegiatan Ramadhan di kampus masih segelintir orang saja, serta belum menjangkau mahasiswa yang juga kader keIslamannya kurang, bisa jadi bukan karena acaranya yang buruk, tapi karena strategi memasarkan kegiatan yang masih perlu diperbaiki. Selama ini, kegiatan-kegiatan di bulan ramadhan dipublikasikan lewat poster atau spanduk. Tentu metode ini tetap perlu dilakukan, sebagai sarana untuk menginformasikan kegiatan tersebut. Hanya saja, strategi itu masih kurang daya dorongnya untuk menarik minat mahasiswa. Strategi yang cukup bagus adalah penyampaian informasi secara langsung dan persuasif. Memang strategi ini menuntut keterlibatan yang lebih aktif dari pelaksana kegiatan, namun hasilnya kemungkinan besar dapat tercapai.

Memang tidak ada jaminan bahwa ketika mahasiswa mengikuti kegiatan Ramadhan di kampus, keimanan dan ketaqwaannya akan meningkat. Akan tetapi, bila mahasiswa mengikuti kegiatan tersebut, minimal sudah ada batu loncatan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Tentu saja, kontiniutas dari kegiatan-kegiatan tersebut, di luar bulan Ramadhan, juga penting dengan konsep acara yang berbeda, sehingga bisa memfasilitasi mahasiswa untuk senantiasa meng-uprade dan memperbaiki kualitas keimanan dan ketaqwaan.[]

18 September, 2009

Membela Kepentingan Rakyat

Dimuat di Seputar Indonesia, Jumat 18 September 2009

Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah perlu diawasi. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar pemerintah dapat menjalankan tugas-tugasnya sesuai dengan wewenang yang diamanahkan kepada mereka. Ketika pemerintah mengabaikan wewenang tersebut, serta tidak melaksanakan tugas-tugasnya secara optimal, maka pemerintah perlu “diingatkan” oleh pihak yang telah memilihnya.

Dalam disiplin ilmu ekonomi, dikenal istilah principal agent problem. Istilah ini merujuk pada suatu kondisi dimana agent bertindak tidak sesuai dengan harapan principal. Sebelum agent dipilih oleh principal untuk melaksanakan tugas tertentu, terlebih dahulu dibuat kesepakatan bahwa agent akan bertindak sesuai dengan keinginan principal. Kasus ini kerap terjadi di lingkungan bisnis, dimana pemilik perusahaan memberikan kewenangan kepada orang lain untuk mengoperasikan perusahaan, dengan tujuan untuk memaksimumkan manfaat yang diterima pemilik perusahaaan. Untuk meminimalisir penyimpangan tersebut, pemilik perusahaan harus mengawasi manajer.

Namun principal agent problem bukan hanya terjadi dalam lingkup bisnis, tapi juga dalam bidang politik. Pemerintah, terutama eksekutif dapat disebut agent, sementara rakyat dapat disebut principal. Rakyat memilih pemerintah agar mereka dapat bertindak sesuai dengan keinginan mereka. Di sisi lain, terlebih dahulu para calon pemimpin berjanji untuk membela kepentingan rakyat ketika mereka sudah terpilih nantinya. Namun, kerap kali janji-janji tersebut tidak dipenuhi, bahkan kerap kali bertindak untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.

Karena itu, untuk meminimalisir penyimpangan yang dilakukan pemerintah, rakyat juga harus mengawasi jalannya pemerintahan. Namun sebagian besar rakyat Indonesia masih minim dalam pendidikan politik, sehingga acuh tak acuh terhadap pengawasan pemerintah. Rakyat lebih mementingkan urusan ekonomi ketimbang urusan politik. Wajar bila hal ini terjadi, karena hampir setengah dari rakyat Indonesia masih berkubang dalam jurang kemiskinan.

Di sinilah mahasiswa harus berperan. Mereka harus menjadi wakil rakyat dalam mengawasi pemerintah. Mahasiswa perlu mengawasi pemerintah dalam menjalankan program-programnya serta bersikap kritis pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat. Namun sikap kritis yang ditunjukkan tidak sekedar asal menolak apa saja yang datang dari pemerintah, tapi dengan mempertimbangkan secara akal sehat. Bagaimanapun, tujuan dari sebuah kebijakan adalah membawa kemaslahatan bagi rakyat banyak. Bila manfaat dari sebuah kebijakan hanya dinikmati oleh segelintir orang saja, maka pemerintah telah menyimpang dari amanah yang diberikan. Mementingkan kepentingan kelompok tertentu menandakan bahwa pemerintah tidak berpihak pada rakyat. Nah, bila keadaan ini terjadi, mahasiswa harus berperan aktif untuk mendobrak penyimpangangan-penyimpangan tersebut. Namun, di sisi lain, mahasiswa tetap harus menyadari tugasnya sebagai seorang akademisi yang belajar di perguruan tinggi. Mereka tidak boleh lupa tugas-tugasnya sebagai seorang mahasiswa. Bila tugas tersebut terbengkalai, justru ini menandakan bahwa mahasiswa tidak akan mampu secara konsisten membela kepentingan rakyat. Sebab, bagaimana mungkin seseorang bisa secara konsisten memperjuangkan kepentingan orang lain, sementara dirinya sendiri tidak terurus dengan baik. Karena itu, mahasiswa yang aktif bergulat dengan wacana dan gerakan yang terkait dengan pengawasan pemerintah mesti menyeimbangkan secara proporsional antara kepentingan kuliah dengan kepentingan untuk membela kepentingan rakyat, terutama rakyat kecil.[]

03 September, 2009

Mengisi Pos Kabinet

Dimuat di Seputar Indonesia, Kamis, 3 September 2009

Dukungan suara sekitar 60 persen kepada pasangan SBY-Boediono merupakan modal utama pemerintahan baru dalam menyusun dan melaksanakan berbagai program kerja selama 5 tahun ke depan. Dalam pelaksanaan program tersebut, para menteri memegang peran penting karena keberadaan mereka ditujukan untuk membantu presiden dalam merealisasikan janji-janji saat kampanye.

Bila menteri gagal menjalankan tugasnya, program kerja tidak akan berjalan optimal sehingga kecil kemungkinan target pemerintahan dapat tercapai. Di sisi lain, bila menteri sukses dalam menjalankan perannya, tentu peluang untuk mencapai target pemerintahan makin besar. Karena itu, para calon menteri yang akan mengisi pos kabinet haruslah orang tepat yang ditempatkan pada posisi yang tepat pula. Di sisi lain, meskipun seseorang ahli pada bidang tertentu, tapi tidak ditempatkan sesuai dengan kebutuhan pos kabinet yang akan diisi, besar kemungkinan yang akan diperoleh adalah kegagalan. Kasus pemilihan menteri pada periode sebelumnya menandakan masih adanya orang yang ditempatkan pada bidang tertentu yang bukan keahliannya. Akibatnya, tidak lama setelah pemerintahan baru berjalan, muncul reshuffle kabinet. Perubahan posisi kabinet ini tentu berpotensi memunculkan ketidakstabilan, bisa pada bidang ekonomi atau politik. Sebab, besar kemungkinan terjadi perubahan kebijakan sebagai akibat dari adanya pergantian menteri.

Karena itu, pertimbangan matang harus dikedepankan sebelum presiden menentukan orang-orang yang akan membantunya. Selain pertimbangan kalkulasi politik, tentu yang lebih utama adalah kompetensi. Hanya saja, realitas menunjukkan bahwa pertimbangan kalkulasi politik kelihatannya lebih dominan. Hal ini terlihat pada manuver politik SBY yang berniat menggandeng hampir seluruh partai pemenang pemilu legislatif, termasuk PDI-P dan Golkar. Kita tahu, Golkar dan PDI-P berpeluang menjadi partai oposisi. Hanya saja, SBY menginginkan agar kedua partai besar ini masuk dalam pemerintahan. Salah satu tawarannya adalah kursi kabinet.

Selain itu, tentu saja partai-partai pendukung pasangan SBY-Boediono diberikan kursi di kabinet. Boleh dibilang, kursi kabinet ini merupakan kompensasi atas dukungan dalam pemenangan pemilihan presiden, serta sebagai pengikat dukungan dalam menjalankan pemerintahan selama 5 tahun ke depan. Dukungan ini tampak di parlemen, di mana wakil-wakil dari partai pemerintah dan pendukungnya memberikan dukungan kepada keputusan-keputusan eksekutif yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Tidak bisa dimungkiri, transaksi politik demikian kerap terjadi dalam dinamika pemerintahan kita. Hanya saja, perlu diterapkan strategi khusus agar pengisian pos kabinet tetap mengedepankan kompetensi, bukan pertimbangan kalkulasi politik. Diakui, kader-kader partai pun banyak yang berkualitas. Tidak selamanya kader partai yang menjadi menteri gagal menjalankan tugasnya. Karena itu, pemilihan menteri dari kader partai yang benar-benar kompeten di bidang yang dibutuhkan, merupakan salah satu solusi. Di sini, partai pendukung pemerintah juga harus tahu diri. Kader-kader yang direkomendasikan haruslah merupakan orang yang ahli di bidang yang dibutuhkan, bukan karena pertimbangan tingkat kedudukan di partai tersebut. Sebab, belum tentu petinggi partai memiliki keahlian sesuai dengan yang dibutuhkan di pos kementerian[]

Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/267476/