22 Agustus, 2009

Membentengi Remaja dari Teroris

Dimuat di Kompas Yogyakarta, Jumat, 21 Agustus 2009

Indonesia kembali terguncang dengan aksi bom bunuh diri yang diduga dilakukan oleh jaringan Noordin M Top. Uniknya, salah satu pelaku aksi teror tersebut masih berusia remaja. Kondisi ini menyiratkan, perkaderan dalam organisasi terorisme makin menunjukkan taringnya. Ini tak boleh dibiarkan sebab bila organisasi terorisme tersebut merekrut banyak kader muda, peluang munculnya aksi bom bunuh diri akan tinggi pula. Implikasinya, kita makin terancam oleh serangan teroris. Karena itu, kita harus memutus rantai perkaderan yang dibangun jaringan teroris dengan menjauhkan generasi muda dari pengaruh mereka.

Generasi muda atau remaja merupakan sasaran empuk bagi perkaderan organisasi terorisme. Wajar saja, sebab masa remaja merupakan masa di mana ide/paham baru bisa dengan mudah ditanam dalam pikiran mereka. Masa remaja juga ditandai dengan kepribadian yang masih labil. Mereka belum mempunyai prinsip diri yang cukup dan pegangan dalam membentengi diri dari ide/paham yang tidak benar. Dengan demikian, indoktrinasi berjalan sangat lancar, ditambah lagi dengan kemampuan para teroris dalam mendoktrin atau memprovokasi calon kader.

Pilihan terhadap calon kader juga tidak sembarangan. Remaja harus punya semangat tinggi dalam beragama. Indikator lain yang tidak terlalu penting tapi tetap berpengaruh adalah keadaan ekonomi remaja (keluarga). Remaja yang hidup dalam keadaan ekonomi yang layak, terlebih lagi bila sudah memiliki pekerjaan tetap, tidak rentan terhadap aktivitas-aktivitas yang cenderung tidak produktif tersebut. Sementara bagi yang hidup pas-pasan, terlebih lagi bila hidupnya tidak layak, derajat kerentanannya tinggi. Karekteristik orang yang terakhir mudah direkrut karena mereka tidak terlalu peduli dengan harta benda, serta cenderung bersikap pasrah terhadap kekuatan yang berasal dari luar.

Secara riil, keahlian merekrut remaja untuk melakukan aksi bom bunuh diri sudah terbukti. Dani Permana, remaja berusia 18 tahun, berani melakukan bom bunuh diri di Hotel JW Marriott. Ide/paham yang ditanamkan oleh para teroris ini berlandaskan pada salah satu agama, sehingga tak heran bila memunculkan semangat yang luar biasa tingginya. Hasilnya, setiap orang yang melakukan aksi bom bunuh diri beranggapan, aksi tersebut bukanlah kejahatan yang pantas memperoleh ganjaran negatif, melainkan pembelaan terhadap kebenaran yang pantas memperoleh ganjaran positif.

Dengan latar belakang demikian, jelaslah bahwa terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan mudahnya perekrutan remaja dalam kelompok teroris. Karena itu, bolehlah dikatakan bahwa mencegah keterlibatan remaja dalam aksi teror bukanlah pekerjaan yang mudah, tapi bukan pula pekerjaan yang mustahil diselesaikan. Syaratnya, segenap pihak harus menjalankan perannya masing-masing dalam menjauhkan remaja-remaja kita dari organisasi terorisme. Pemerintah, keluarga, dan lingkungan masyarakat merupakan aktor yang bisa mengambil andil dalam pencegahan ini. Masing-masing punya peran yang harus berjalan sebagaimana mestinya. Bila tidak demikian, hasilnya pun tidak akan optimal.

Keluarga (orang tua) berperan dalam memberikan pendidikan agama yang benar kepada anak-anaknya. Keluarga merupakan tempat pertama bagi anak-anak untuk menuntut ilmu. Selain itu, dari bayi sampai remaja, sebagian besar waktu dihabiskan di rumah, sehingga kondisi keluarga sangat berpengaruh pada perkembangan kepribadian anak. Karena itu, selain memberikan pendidikan agama yang benar, juga diperlukan terciptanya kondisi yang memungkinkan anak-anak memiliki kepribadian positif, seperti penuh kasih sayang, hormat pada orang lain, dan lain-lain. Kepribadian ini akan membentengi anak-anak terhadap pengaruh ide/paham yang dapat memunculkan aktivitas-aktivitas yang merugikan orang lain.

Pemerintah, selain “mengobati” aksi terorisme, juga berperan dalam mencegah terjadinya aksi teror. Bila ditilik salah satu latar belakang masalah di atas, jelaslah bahwa pemerintah berperan dalam meningkatkan kualitas kehidupan ekonomi masyarakat, termasuk para remaja. Aktivitas ekonomi harus ditingkatkan agar mampu menyerap tenaga kerja yang menganggur, termasuk di dalamnya adalah para remaja yang belum memiliki pekerjaan layak. Berdasarkan data dari Kementerian Pemuda dan Olah Raga pada 2008, masih ada sekitar 19,5 persen dari total seluruh jumlah penduduk yang memiliki status pengangguran.

Lingkungan masyarakat juga berperan dalam mencegah terlibatnya remaja dalam aksi teror. Pengawasan keluarga terhadap anak-anaknya terbatas bila anaknya berada di luar rumah. Karena itu, dibutuhkan pengawasan dari lingkungan masyarakat terhadap perilaku remaja yang menampakkan ciri khas yang mencurigakan.

Bila ketiga aktor ini menjalankan perannya masing-masing, peluang terjeratnya remaja dalam kelompok teroris dapat diminimalisir. []

18 Agustus, 2009

Kinerja Dewan Mengecewakan

Dimuat di Harian Jogja, Selasa, 18 Agustus 2009

Elite politik yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan DPRD tampaknya makin tidak peduli dengan rakyat. Wajar saja bila pernyataan demikian muncul, sebab siapapun pastinya kecewa melihat kinerja dewan yang masih jauh dari harapan, terutama pada periode 2004-2009 ini. Akibatnya, pelayanan anggota dewan pada rakyat juga belum optimal.

Pada 31 Agusutus nanti, anggota DPR/DPRPD periode 2004-2009 akan mengakhiri masa tugasnya. Selama 5 tahun, mereka menjalankan amanah dari rakyat. Tapi, sudahkah mereka menjalankan tugasnya dengan optimal? Sudahkah mereka merealisasikan janji-janji kampanyenya? Penulis tidak berpretensi menjawab pertanyaan tersebut. Akan tetapi, penulis menganggap bahwa harapan rakyat kepada anggota dewan tampaknya belum tercapai.

Kita tahu, salah satu tugas elite politik yang duduk di parlemen, baik di tingkat pusat sampai daerah tingkat dua adalah menyusun dan menetapkan UU (tingkat pusat) atau perda (tingkat daerah). Adapun fungsi dari aturan tersebut adalah mengatur kehidupan masyarakat, baik aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain. Tentunya, sebagai manusia yang hidup berkelompok, keberadaan aturan main (peraturan formal) sangat dibutuhkan. Karena itu, rakyat menyerahkan kepada wakil-wakilnya di parlemen (termasuk juga eksekutif) untuk menyusun dan menetapkan peraturan formal tersebut. Rakyat memberikan amanah tersebut selama 5 tahun dengan harapan agar kedamaian dan kesejahteraan rakyat dapat tercapai.

Dalam implementasinya, tidaklah mudah menjalankan amanah ini. Peraturan Daerah (perda) yang dibuat anggota DPRD kerap kali tumpang tindih dengan aturan pemerintah pusat, sehingga pelaksanaannya kurang efektif. Selain itu, jumlah peraturan daerah yang berhasil dibuat lebih kecil dibanding yang diharapkan. Lebih parah lagi, sering kali muncul aturan yang tidak berpihak pada rakyat. Masalah-masalah ini menimbulkan dampak negatif pada rakyat, di samping karena rakyat makin acuh tak acuh terhadap anggota dewan, juga karena rakyat tidak mendapatkan aturan formal yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.

Sebetulnya, kinerja yang buruk bukan hanya terjadi di tingkat daerah, tapi juga di tingkat pusat. Data menunjukkan, dari target RUU sebanyak 282 yang akan dibahas pada periode ini, ternyata hanya bisa dicapai sebanyak 197 per 20 Juni 2009. Lebih miris lagi, sebagian besar RUU yang berhasil disahkan menjadi UU, ternyata terkait dengan otonomi daerah. Sementara UU yang berkenaan dengan penciptaan pemerintahan yang baik ataupun pemberantasan korupsi, menempati urutan paling bawah. Masalah yang menimpa anggota dewan ternyata lebih buruk lagi bila kita menilai perilaku korupsi yang masih saja merajalela selama periode 2004-2009 ini. Nah, kondisi anggota dewan inilah yang berpotensi menjadikan rakyat makin apatis dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi, kita tidak perlu heran bila makin meningkat angka golongan putih setiap kali pemilu dilaksanakan.

Apapun yang terjadi di masa lalu, tentu tidak bisa dikembalikan lagi saat ini. Pada dasarnya, rakyat ingin agar anggota dewan bertanggung jawab atas kinerjanya yang buruk. Sayangnya, tidak ada mekanisme formal untuk hal tersebut, kecuali melalui pemilihan umum yang berlangsung 5 tahun sekali. Baru saja, rakyat sudah menentukan pilihannya. Semoga saja momentum tersebut dijadikan rakyat sebagai penghakiman terhadap elite politik yang selama ini berkinerja buruk. Kini, harapan ada pada anggota dewan baru agar menghasilkan kinerja optimal. Karena itu, ke depan, segenap rakyat, LSM dan mahasiswa harus mengawasi kinerja anggota dewan. Adanya kontrak politik sebetulnya dapat menjadi pengikat demi terbangunnya mekanisme kontrol dari rakyat kepada anggota dewan. Hanya saja, tidak banyak anggota dewan yang sudah dilantik berani menandatangi kontrak politik. Alasannya, kontrak yang serupa dengan itu sudah dilakukan saat pelantikan. Namun penulis menganggap tidak masalah bila anggota dewan menandatangi kontrak politik, yang sebagian isinya membahas tentang komitmen untuk melaksanakan semua janji-janji kampanye, serta bersedia mundur bila tidak mampu memenuhi janji-janji tersebut. Kini, rakyat membutuhkan anggota dewan yang berkarakter demikian. []

16 Agustus, 2009

Meminimalisasi Potensi Terorisme

Dimuat di Seputar Indonesia, Sabtu, 15 Agustus 2009

Indonesia tergolong negara yang sering menjadi sasaran aksi terorisme. Dapat dilihat, sudah beberapa kali terjadi aksi terorisme yang menewaskan puluhan atau bahkan ratusan nyawa. Sampai saat ini, sasaran teroris yang terakhir kali adalah Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott. Besar kemungkinan akan ada aksi-aksi berikutnya di masa yang akan datang. Uniknya, pihak yang melancarkan aksi teror ini tidak pernah secara eksplisit menyatakan motif di balik aksi mereka. Hal inilah yang menjadikan pekerjaan pemerintah relatif lebih sulit, sebab untuk menekan potensi terorisme, mau tak mau langkah pertama adalah menemukan alasan di balik aksi tersebut.

Kita tahu, setiap aksi terorisme disertai oleh alasan yang kuat, sebab aksi ini disertai dengan pengorbanan materi dan nyawa. Jadi, mustahil bila aksi ini hanya iseng-iseng dari kelompok tertentu. Menurut analisis penulis, terdapat dua alasan utama yang mendasari munculnya aksi terorisme. Pertama, dorongan ideologi. Hal ini berwujud pada kebencian terhadap pihak yang menindas kelompok mereka, serta pihak-pihak yang menghalangi usaha mereka untuk mencapai tujuan. Begitu penting arti ideologi dalam kehidupan mereka, sehingga nyawapun rela dikorbankan guna mencapai tujuan yang diinginkan. Parahnya, gerakan ini bukan hanya berskala nasional, tapi sudah berskala internasional. Misalnya, kebencian Usama Bin Laden, yang mengaku mewakili umat Islam, terhadap Amerika Serikat (AS) mendorongnya untuk mengumandangkan perang bagi apapun dan siapapun yang berbau AS. Perang ini dilancarkan ke seluruh dunia melalui jaringan-jaringan yang tersebar di sejumlah negara.

Sejumlah pihak berpendapat Noordin M Top cs yang melakukan aksinya di Indonesia, merupakan jaringan dari Usama Bin Laden. Dengan kata lain, bila Noordin M Top melakukan aksinya di Indonesia, bisa diprediksi bahwa yang menjadi sasaran adalah apapun dan siapapun yang berbau AS, sebab aksi ini dilandasi oleh kebencian terhadap AS. Kasus pengeboman di Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott dapat menguatkan argument tersebut. Bila demikian halnya, maka tugas pemerintah adalah memperketat keamanan, terutama yang menyangkut sasaran aksi terorisme ini.

Selain dorongan ideologi, aksi terorisme dapat pula terjadi karena alasan ekonomi. Tekanan ekonomi yang dialami oleh teroris, terutama bagi orang yang melakukan bom bunuh diri, bisa menjadi latar belakang dipilihnya jalan untuk mengakhiri hidup. Kita tahu, modus operandi dari aksi-aksi terorisme adalah bom bunuh diri. Orang-orang yang melakukan aksi bom bunuh diri, terlebih dahulu didoktrin dengan ajaran-ajaran yang membenarkan aksi tersebut. Peranan orang yang melakukan bom bunuh diri ini sangatlah penting, sebab merekalah yang berkorban paling besar. Bila jaringan ini tidak bisa merekrut orang-orang yang bersedia melakukan aksi tersebut, niscaya eksistensinya akan lenyap. Namun, alasan ekonomi ini tidak selalu berbentuk tekanan yang dialami oleh pelaku, terutama yang melakukan bunuh diri, melainkan dapat pula berupa kesedihan terhadap masihnya banyak orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ini dianggap sebagai kegagalan pemerintah, yang menganut sistem ekonomi, yang tampaknya tidak membuat rakyat sejahtera. Latar belakang tersebut merupakan salah satu alasan gerakan teroris berbalik melawan pihak-pihak yang menyebabkan ketertindasan rakyat.

Diakui, kita tidak bisa meredam potensi yang pertama, tapi kita tetap bisa meredam potensi yang kedua. Caranya adalah dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Ini memang menjadi tugas berat pemerintah, untuk mengangkat 32,5 juta rakyat Indonesia yag hidup di bawah garis kemiskinan menuju kehidupan yang layak. Namun tetap diakui, terorisme belum tentu selesai bila urusan ekonomi sudah terpenuhi, tapi paling tidak salah satu potensinya nsudah diminimalkan. []

06 Agustus, 2009

Anggaran Penanggulangan Kemiskinan

Dimuat di Seputar Indonesia, Rabu 5 Agustus 2009

Pada senin (3/8), Presiden SBY menyampaikan pidato kenegaraan di gedung MPR/DPR mengenai RAPBN 2010. Dalam pidato tersebut, SBY menjadikan pemeliharaan kesejahteraan rakyat, serta pelaksanaan sistem perlindungan sosial sebagai salah satu prioritas pembangunan dan anggaran. Pada tahun 2010, anggaran untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dialokasikan sebesar Rp 36,1 triliun.

Kita tahu, instrumen utama pemerintah dalam mempengaruhi aspek kehidupan berbangsa dan bernegara adalah APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Namun aspek kehidupan yang dipengaruhi bukan hanya ekonomi, tapi juga aspek-aspek lain, seperti politik, pertahanan dan keamanan, sosial budaya, dan lain-lain. Karena itu, APBN harus dicermati agar instrumen ini bisa bermanfaat bagi rakyat.

Salah satu tujuan APBN adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat, sebagaimana tujuan bangsa yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yakni menciptakan kesejahteraan umum. Tujuan ini dapat dicapai dengan pengalokasian anggaran untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tinggi rendahnya anggaran yang dialokasikan pemerintah akan menjadi indikator keseriusan pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Salah satu langkah yang dilakukan pemerintah adalah melalui program-program seperti PNPM Mandiri, Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Namun bukan berarti program-program tersebut telah berhasil menanggulangi kemiskinan secara optimal. Berdasarkan data BPS, angka kemiskinan per Maret 2008 sebesar 34,98 juta jiwa. Berselang satu tahun kemudian yakni pada Maret 2009, pemerintah berhasil menekan angka kemiskinan menjadi 32,53 juta jiwa. Ini berarti, hanya sebanyak 2,43 juta penduduk miskin yang berhasil terbebas dari kategori miskin. Dengan demikian, masalah kemiskinan masih merupakan pekerjaan berat bagi pemerintah, sehingga wajar bila dijadikan sebagai prioritas pembangunan dan anggaran oleh pemerintah.

Penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat diakui bukan pekerjaan mudah. Namun ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah agar kebijakan ini bisa berhasil secara optimal. Pertama, pemerintah perlu melakukan kebijakan fiskal ekspansif, terutama melalui pembangunan infrastruktur. Dalam jangka pendek, pembangunan infrastruktur dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja, sehingga dapat meningkatkan daya beli masyarakat. Sementara itu, dalam jangka panjang, tersedianya infrastruktur secara memadai dapat memperlancar arus barang dan modal manusia sehingga dapat memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi. Konsekuensinya, keterbatasan dana bukan lagi masalah bila pemerintah ingin menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai prioritas anggaran.

Kedua, penyerapan anggaran pemerintah, terutama di tingkat pemerintah daerah (pemda) harus optimal. Kita tahu, salah satu tugas utama pemda adalah menyediakan fasilitas pelayanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, serta menanggulangi kemiskinan melalui program-program yang sesuai dengan karakteristik kemiskinan di daerah masing-masing. Karena karakteristik kemiskinan yang berbeda setiap daerah, maka program-program penanggulangannya pun harus berbeda-beda, tidak boleh disamakan. Karena itu, pemda punya peran penting untuk menanggulangi kemiskinan di daerahnya masing-masing dengan menggunakan anggaran yang terdapat di APBD. Hanya saja, masalah yang kerap dihadapi pemda adalah penyerapan anggaran belum mencapai optimal. Pada 2008, tercatat sekitar Rp 50 triliun anggaran dari seluruh pemda yang tidak diserap. Padahal, anggaran tersebut mestinya diserap untuk menyediakan fasilitas-fasilitas publik di daerah, dan menanggulangi kemiskinan bagi daerah-daerah yang memiliki penduduk miskin relatif banyak.

Nah, bila langkah-langkah ini dilakukan, penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat akan berjalan optimal, meski tetap diperlukan kerja keras untuk merealisasikannya. []