28 April, 2009

Perbaikan Regulasi Ekonomi

Dimuat di Seputar Indonesia, Selasa 28 April 2009

Bila dicermati peta politik akhir-akhir ini, tampaknya perhelatan pemilu yang akan berlangsung pada Juli mendatang akan diramaikan dengan persaingan antar tokoh-tokoh yang sudah malang-melintang di panggung perpolitikan nasional. Sebut saja tokoh-tokoh yang punya kans besar maju sebagai calon presiden seperti SBY, Megawati, dan Jusuf Kalla. Ada lagi tokoh-tokoh yang dijagokan sebagai calon wakil presiden seperti Prabowo, Sutiyoso, dan Hidayat Nur Wahid. Tentu saja, mereka semua berkomitmen untuk menyejahterahkan rakyat Indonesia, hanya saja pencapaian cita-cita tersebut dilakukan dengan cara berbeda-beda. Tapi dengan cara-cara berbeda-beda tersebut, muncul satu pertanyaan, apakah benar bahwa ekonomi Indonesia sudah dalam track yang benar?

Pertanyaan, apakah Indonesia sudah dalam track yang benar bisa dijawab, salah satunya dengan melihat indikator regulasinya. Apakah regulasi-regulasi ekonomi sudah memihak pada rakyat? Ternyata, sebagian besar belum. Banyak regulasi-regulasi ekonomi di negeri ini yang tidak memihak pada rakyat, seperti UU PMA, energi, sumber daya air, dan berbagai macam regulasi lainnya yang ternyata makin meneguhkan dominasi asing di negeri ini. Dengan adanya regulasi tersebut, perusahaan asing makin leluasa melakukan eksploitasi SDA. Misalnya, gas di Aceh dieksploitasi Exxon Mobil bersama dengan Jepang, cadangannya mencapai 17,1 triliun kubik; emas di Irian Jaya dieksploitasi oleh Freeport, cadangan emasnya mencapai 86,2 juta ons emas. Dengan dominasi asing terhadap pengelolaan SDA di Indonesia, yang memang didukung oleh hasil negosiasi dan regulasi, keuntungan bangsa dan negara menjadi lebih kecil. Nah, bila jalan masih diteruskan, maka di samping kedaulatan ekonomi akan tercerabut, juga rakyat Indonesia akan bergelimang dalam kemiskinan dan penderitaan.

Bagi calon pemimpin yang menganggap bahwa kebijakan ekonomi Indonesia sudah dalam track yang benar, maka sudah bisa dipastikan bahwa tidak akan terjadi perubahan dalam kebijakan ekonomi. Bisa ditebak, arah ekonomi Indonesia pasca pemilu presiden adalah sumber daya alam kita makin jatuh pada negara asing. Dengan kondisi seperti ini, apa yang bisa dilakukan? Sebagai warga negara, perlu kita wacanakan ke masyarakat luas agar memilih pemimpin yang benar-benar punya agenda-agenda demokrasi ekonomi, termasuk di dalamnya adalah perubahan regulasi-regulasi yang selama ini merugikan rakyat. Lalu, bagaimana kalau belum ada calon pemimpin yang memenuhi kriteria tersebut? Jawabnya, masih ada waktu untuk mewacanakan ke publik termasuk kepada calon pemimpin bahwa sebetulnya sebagian besar rakyat Indonesia butuh pemimpin yang memang berkomitmen untuk memperbaiki regulasi-regulasi yang selama ini merugikan bangsa dan negara.

Saya kira pemilu kali ini merupakan momentum terbaik untuk mengubah arah kebijakan ekonomi Indonesia dari yang pro asing menjadi pro rakyat. Dengan kata lain, rakyat harus memilih pemimpin yang memang berkomitmen untuk melakukan perubahan terhadap regulasi-regulasi yang selama ini tidak memihak pada rakyat Indonesia secara luas.[]

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/233633/

21 April, 2009

Stabilitas Politik Menuju Kemajuan Ekonomi

Dimuat di Seputar Indonesia, Selasa, 21 April 2009

Hiruk-pikuk perhelatan politik terbesar bangsa ini belumlah usai. Pasca pemilihan umum legislatif pada 9 April kemarin, rakyat Indonesia kembali akan memilih presiden dan wakil presiden pada bulan Juli. Antara April sampai Juli pun diisi dengan konsolidasi partai-partai untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Tak heran bila pemberitaan politik di media massa masih mendominasi dibanding berita lainnya.

Bukan hanya media, pemerintah juga fokus dalam penyelenggaraan pemilu karena yang paling bertanggung jawab atas pemilu memang pemerintah. Karena itu, pemerintah menaruh perhatian besar dengan niat untuk menjadikan pemilu ini lancar, tertib, dan damai. Selain pemerintah dan media, rakyat juga ikut terkuras energinya dalam perhelatan akbar ini. Pada masa kampanye, ibaratnya rakyat memiliki pekerjaan baru, yaitu ikut meramaikan kampanye. Tentunya ada imbalannya karena yang mengikuti kampanye ini notabene dari kalangan menengah ke bawah yang memang menginginkan kompensasi dari waktu yang telah mereka luangkan. Sementara bagi kaum menengah ke atas, tidak mungkin membuang-buang waktu di bawah terik matahari, hanya untuk mendengarkan “ocehan” dari para pemimpin partai.

Karena pemerintah, media, dan rakyat sibuk mengurusi politik, tepatlah bila tahun ini disebut pula sebagai tahun politik. Tahun ini, rakyat akan menentukan pilihan pada tokoh yang akan bekerja untuknya selama 5 tahun ke depan. Tentunya harapan rakyat adalah terjadi perubahan terhadap kondisi mereka dari yang kurang baik menjadi baik, terutama menyangkut tingkat kesejahteraan. Pasalnya, saat ini rakyat sedang dibebani penderitaan akut akibat makin kecilnya kesempatan kerja dan makin rendahnya kepemilikan rakyat kecil terhadap aset-aset ekonomi. Akibatnya, Indonesia masih berkubang dengan angka kemiskinan 15,9 persen (versi BPS Maret 2008) dari sekitar 225 juta jiwa penduduk Indonesia, serta tingkat pengangguran sebesar 8,5 persen dari 111,5 juta jiwa angkatan kerja.

Karena itu, tentu kita berharap agar pemilu ini membawa perubahan besar berkenaan peningkatan kesejahteraan rakyat. Memang tantangannya berat karena terdapat beberapa faktor penghambat. Pertama, terjadi kecenderungan terjadinya penurunan aktivitas ekonomi di masa mendatang. Tantangan ekonomi yang dihadapi bangsa ini makin berat. Berbagai prediksi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2009 ini hanya berkisar antara 4 sampai 5 persen. Tentunya ini makin mengurangi penyerapan tenaga kerja sehingga pertambahan tenaga kerja tiap tahunnya malah tidak bisa diserap oleh peningkatan aktivitas ekonomi. Karena itu, meski tetap terjadi pertumbuhan, bisa saja pengangguran makin bertambah dan kesejahteraan rakyat makin turun. Kedua, bila pemilu yang mengantarkan pemimpin ternyata menimbulkan konflik berkepanjangan, maka efeknya akan merugikan rakyat, dan berimplikasi lebih luas pada dunia bisnis.

Karena itu, menjadi tanggung jawab kita bersama untuk tetap menjaga stabilitas politik di negeri ini agar permasalahan ekonomi Indonesia, terutama karena dampak dari adanya krisis finansial global, dapat kita lewati dengan selamat. Bila stabilitas politik pasca pemilu tercipta, ini akan menjadi salah satu pertimbangan penting bagi investor untuk melakukan aktivitas ekonomi di tanah air. Diharapkan dengan ekonomi yang bergairah, kesejahteraan rakyat akan semakin baik.

14 April, 2009

Meredakan Potensi Konflik

Seputar Indonesia, Senin 13 April 2009

Pemungutan suara baru saja berlangsung. Meski Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru mengumumkan hasil pemilu legislatif beberapa minggu ke depan, partai-partai pemenang sudah dapat ditebak berkat bantuan perhitungan cepat yang dilakukan sejumlah lembaga survei. Hasilnya, partai Demokrat menduduki posisi pertama dengan perolehan suara sekitar 20 persen, di susul PDIP dan Golkar yang masing-masing memperoleh sekitar 15 persen suara untuk tingkat DPR RI. Meski belum final, perhitungan cepat versi lembaga survei ini diperkuat dengan perhitungan sementara KPU atau tabulasi nasional yang hampir sama dengan hasil lembaga survei.

Tentu saja, pemilihan umum senantiasa menghasilkan pihak yang menang dan pihak yang kalah. Tak heran bila kerap kali muncul ketidakpuasan dari pihak-pihak yang kalah, bila terindikasi terjadi kecurangan. Pihak yang kalah mengklaim, kekalahannya disebabkan kecurangan-kecurangan yang terjadi selama proses pemilihan berlangsung. Karena itu, dalam pemilu yang terdapat banyak kecurangan, akan berpeluang besar memunculkan konflik horizontal.

Memang kita patut bersyukur karena proses pemungutan suara berlangsung tertib dan aman, meski di beberapa daerah masih terdapat masalah serius. Pada pemilu kali ini, kita mengalami masalah yang berpotensi memunculkan konflik horizontal, terutama terkait carut-marutnya pendataan pemilih tetap. Tampaknya, masalah DPT (Daftar Pemilih Tetap) merupakan masalah paling serius dalam pemilu legislatif ini. Ada banyak warga yang berhak memilih, tapi terpaksa mengubur hak pilihnya karena tidak terdaftar sebagai pemilih tetap. Akibatnya, banyak kalangan menyimpulkan bahwa tingkat partisipasi rakyat sangatlah rendah. Diperkirakan angka golongan putih mencapai 40 persen dari total jumlah pemilih. Namun sangat disayangkan karena banyak dari golongan putih ini bukan karena kehendak pribadi, melainkan kesalahan penyelenggara pemilu yang tidak mencantumkan orang yang pantas memilih sebagai pemilih. Partai atau calon legislatif yang menganggap pendukungnya tidak mendapat hak suara, akan melayangkan protes keras pada KPU, bahkan mungkin pihak yang dirugikan berpeluang tidak mau menerima hasil pemungutan suara ini.

Namun tentunya konflik horizontal tidak inginkan terjadi, apalagi dalam skala masif. Karena itu, perlu kiranya peran serta banyak pihak yang terkait dengan pelaksanaan pemilu untuk bersama-sama meredakan potensi konflik ini. Pertama, para petinggi partai politik yang merasa dirugikan seyogianya bersikap tenang dalam menghadapi indikasi kecurangan dalam pemilu. Sikap tenang petinggi partai politik, akan mampu meredakan munculnya konflik di tingkat akar rumput. Adapun cara penyelesaian masalah tersebut, para petinggi parpol seyogianya mengedepankan penyelesaian berdasarkan prosedur yang sudah ditetapkan UU. Kedua, pihak keamanan juga mesti siap siaga dalam meredakan potensi konflik yang bisa dimunculkan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan di tingkat massa partai. Ketiga, KPU mesti mengambil langkah cepat dan tepat dalam mengantisipasi berbagai potensi kecurangan yang terjadi selama proses perhitungan suara. Selain itu, KPU juga mesti menjelaskan kepada publik berbagai kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaan pemilu legislatif kemarin. Dan yang terpenting adalah, kekurangan dalam pemilu kali ini jangan sampai terjadi lagi pada pemilu presiden dan wakil presiden mendatang, terutama terkait dengan DPT dan logistik pemilu. Tentunya, harapan kita, pemilu mendatang bisa lebih baik dibanding saat ini, sehingga potensi konflik pasca pemilu, bisa diredakan seminimal mungkin. [

02 April, 2009

Janji Kampanye dan Perilaku Politisi

Dimuat di Seputar Indonesia, Kamis 2 April 2009

Bila musim kampanye tiba, rakyat dijejali dengan berbagai macam janji dari para politisi. Tapi tak jarang, janji-janji tersebut hanya taktik politisi untuk meraih dukungan rakyat. Sementara itu, masalah pemenuhan janji-janji dijadikan urusan belakangan. Padahal, antara mengucapkan janji dengan menepati janji merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Memang logis bila program atau janji-janji dibuat sebaik mungkin agar bisa membangun persepsi positif rakyat. Misalnya, partai politik membeberkan program-program seperti menciptakan tambahan lapangan kerja, menurunkan harga sembako (sembilan bahan pokok), menargetkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, menyelamatkan aset negara, menjadwalkan pembayaran utang, menumbuhkan sektor riil, meningkatkan daya beli masyarakat, membela hak petani dengan meningkatkan harga beli produk pertanian, dan lain-lain. Semua janji-janji di atas tentunya sangat relevan dengan kebutuhan rakyat, terlebih lagi bila berkaca pada keadaan bangsa Indonesia yang masih diselimuti berbagai masalah.

Tentu saja, harapan kita adalah para pemimpin atau wakil rakyat dapat memenuhi janji-janji ketika sudah terpilih. Namun melihat realitas politik saat ini, tampaknya sulit bagi para politisi memenuhi janji tersebut karena beberapa alasan. Pertama, perilaku politisi yang hanya dekat dengan rakyat pada saat kampanye tiba dapat memberi sinyal bahwa apa yang dijanjikan pada rakyat hanya gombal. Pemimpin yang benar-benar ingin memperjuangkan rakyat, tidak hanya mendekati rakyat pada saat kampanye tiba, tapi juga sepanjang memegang jabatan. Kedua, sudah cukup bagi kita belajar dari perilaku politisi yang pernah terpilih periode sebelumnya, di mana sebelum terpilih, janji-janji yang hampir sama diucapkan kembali pada saat ini. Kinerja yang buruk merupakan pemandangan yang sudah lazim di negeri ini. Ketiga, perilaku politisi yang banyak menyelewengkan jabatan seperti korupsi sudah merupakan fenomena yang mengakar. Padahal sebelum menjabat, komitmen untuk tidak menyelewengkan jabatan diikrarkan. Tapi kenyataannya, komitmen tersebut dikhianati untuk kepentingan pribadi.

Tentu saja, kita tidak menginginkan hal ini terjadi berlarut-larut. Politisi yang berjanji saat kampanye memang semestinya konsisten memegang janji-janji. Janji-janji manis di saat kampanye tidak akan jadi masalah, bila sudah terpilih mampu memenuhinya. Memang sulit untuk menciptakan kondisi demikian karena berbagai faktor, yaitu kemampuan rakyat memilih pemimpin dengan tepat, kemampuan rakyat melakukan pengawasan terhadap kinerja dewan, dan kemampuan politisi memenuhi janji-janjinya.

Karena itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mengikat janji kampanye. Pertama, seyogianya rakyat mampu memilih pemimpin secara cerdas. Rakyat jangan memilih politisi hanya karena politisi tersebut sering menampilkan janji-janji melalui media. Rakyat mesti mencari tahu track record calon pemimpin sebelum menentukan pilihan. Berkaitan dengan ini, sedikit lebih mudah bagi rakyat dalam menilai calon pemimpin yang sudah menjabat sebelumnya, karena tinggal melihat kinerjanya selama menjabat. Kedua, pengawasan terhadap kinerja pemimpin sangat perlu dilakukan. Dalam hal ini, rakyat butuh bantuan dari kelompok lain, terutama LSM dan media massa untuk mengawasi kinerja anggota dewan. Peran lembaga ini mesti dioptimalkan agar bisa membantu rakyat untuk “meluruskan” wakil-wakilnya di parlemen