28 Oktober, 2008

Kontribusi untuk Kemajuan Bangsa

Seputar Indonesia, 29 Oktober 2008

Tidak bisa dimungkiri, pemuda memiliki peran penting dalam pembangunan suatu bangsa, tak terkecuali di Indonesia. Pemuda Indonesia merupakan generasi penerus yang nantinya akan melanjutkan usaha generasi sebelumnya untuk mencapai cita-cita luhur bangsa Indonesia, yaitu bangsa yang berdaulat, adil, dan makmur.

Dalam sejarah perjalanan bangsa, salah satu keterlibatan pemuda yang sangat kental adalah upaya untuk meraih cita-cita kemerdekaan. Sejarah telah menunjukkan, sosok Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan pejuang-pejuang muda lain berhasil merebut kemerdekaan bangsa dari tangan penjajah. Mereka menjalani itu semua dengan pengorbanan yang tiada taranya demi bangsa dan negara. Lantas modal apa yang mereka miliki? Menurut YB. Mangunwijaya, mereka memiliki beberapa karakter. Pertama, hati yang mampu mendengar dan ikut merasakan penderitaan rakyat dan secara pribadi tak gentar menderita pula. Kedua, mereka berintelegensi tinggi, mampu menyerap segala yang baik dan bijak dari budaya Asia, Eropa, Amerika, dan benua-benua lain. Ketiga, mereka selalu mencari jalan damai, jalan tanpa kekerasan, serta tanpa mengabaikan hal membela diri bila kekerasan dipakai lawan.

Ini artinya, perjuangan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia boleh dibilang dipelopori pemuda. Sumpah Pemuda pada 1928, tentunya diinisiasi oleh para pemuda dari hampir seluruh penjuru nusantara untuk mengikrarkan persatuan dan kesatuan. Pada saat itu, sentimen ke-daerahan tentu masih sangat kental sehingga muncul tantangan yang sangat berat untuk menyatukannya. Namun berkat usaha pemuda, maka persatuan dan kesatuan akhirnya bisa dicapai. Hal inilah yang ikut menentukan pencapaian kemerdekaan bangsa Indonesia pada 1945.

Kini, telah cukup lama bangsa Indonesia menikmati udara kemerdekaan. Lalu, tugas kita setelah merdeka apa? Jawabnya adalah mengisi kemerdekaan. Tugas kita sekarang adalah memelihara dan melanjutkan semangat dan tradisi perjuangan, serta memperkuat dan memperkayanya dengan makna dan nilai-nilai baru sesuai dengan tantangan zaman. Tentunya, pemuda perlu meningkatkan semangat kebangsaan atau cinta tanah air, agar dapat berkontribusi pada lingkungan sekitarnya.

Kita dapat belajar dari Sejarah. Saat studi di Belanda, Bung Hatta dan kawan-kawan sangat memegang teguh kecintaan pada tanah air. Pendidikan barat (Eropa) yang dimilikinya tak lantas membuatnya lupa dengan bangsanya. Sebaliknya, pengetahuan dan ilmu yang dikuasainya dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan bangsa. Karena semangat kebangsaan yang dimiliki, mereka rela berjuang dan berkorban karena menginginkan bangsanya terlepas dari penjajahan. Sekiranya, semangat ini harus tetap ada meski kita sudah menghirup udara kemerdekaan. Sekali lagi, tantangan pemuda saat ini adalah mengisi kemerdekaan yang telah diwariskan oleh pejuang. Nasib bangsa ini, khususnya di masa mendatang, terletak di tangan pemuda Indonesia. []

21 Oktober, 2008

Menuju Kemerdekaan Finansial

Seputar Indonesia, 21 Oktober 2008

Muhammad Hatta pernah berkata “hanya suatu bangsa yang bisa menyingkirkan rasa tergantung saja yang tidak takut akan hari depan. Hanya suatu bangsa yang paham akan harga dirinya maka cakrawalanya akan terang benderang”.

Ibaratnya manusia, di satu sisi merupakan makhluk pribadi tapi di sisi lain sebagai makhluk sosial. Dianggap sebagai makhluk sosial karena kita membutuhkan manusia lain dalam kelangsungan kehidupan. Dalam ilmu ekonomi misalnya, ketergantungan ini bisa dilihat pada proses produksi dan konsumsi barang. Seseorang mengkonsumsi barang yang diproduksi orang lain. Karena kebutuhan manusia makin berkembang maka ketergantungan antar manusia satu dengan yang lain pun makin berkembang. Nah, dalam konteks negara, ketergantungan tercermin pada kebutuhan suatu negara yang hanya bisa dipenuhi dengan memperoleh bantuan negara lain. Kebutuhan ini dapat berupa kecukupan barang dan jasa, kecukupan finansial, dan lain-lain.

Selama orde baru, kebutuhan finansial untuk pembangunan diperoleh dengan “mengemis” dari pihak asing. Akibatnya, utang layaknya menjadi penopang perekonomian saat itu. Tapi, terjadinya krisis 1997, ternyata salah satunya karena utang pemerintah dan swasta yang jatuh tempo saat itu. Akibatnya, permintaan dolar AS meningkat, sehingga melemahkan nilai tukar rupiah. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya krisis moneter di sektor finansial, termasuk perbankan.

Terkait kecukupan finansial dalam menggerakkan pembangunan, memang secara teoritis suatu negara akan berutang ke pihak lain bila mana dirasa kemampuan finansialnya belum cukup. Namun kita harus kritis bila pemerintah berutang, apalagi bila utang tersebut diperoleh dengan mengemis ke negara lain atau lembaga finansial internasional, seperti IMF dan Bank Dunia. Sebab, sudah menjadi pengetahuan umum, Utang Luar Negeri (ULN) memiliki dimensi yang lebih luas ketimbang sekedar masalah ekonomi. Dimensi sosial dan politik yang terkandung dalam ULN juga sangat besar sehingga dikhawatirkan akan muncul risiko bila terjadi dinamika pada bidang sosial dan politik.

Bahaya lain utang adalah menjadikan pemerintah “manja” dan lemah upayanya untuk meningkatkan pendapatan domestik. Hal ini terjadi pada masa Orde Baru, yang didukung pula usaha keras kreditor untuk menawarkan pinjaman. Ini salah satu strategi negara atau lembaga kreditor untuk memasukkan negara peminjam dalam pusaran kekuasaannya. Si pengutang tentu tunduk pada pemberi utang, karena pengutang merasa segan menolak keinginan pemberi utang. Padahal, relasi penerima dengan pemberi pinjaman seperti inilah yang mengantarkan pada kehancuran si penerima pinjaman.

Oleh karenanya, perlu dilakukan upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap utang, baik luar negeri maupun domestik. Upaya pemerintah mengelola sumber daya alam secara optimal agar pendapatan naik merupakan salah satu faktor tercapainya kemerdekaan finansial. Pemerintah harus menyadari, berutang itu ibaratnya menggali lubang untuk kuburan sendiri. Sehingga sangat rawan terjadi, suatu negara akan bangkrut dan benar-benar masuk ke lubang tersebut. Oleh karenanya, kita harus menyingkirkan ketergantungan tersebut, agar generasi sekarang dan selanjutnya tidak akan takut terhadap masa depannya.[]

18 Oktober, 2008

Saatnya Mengubah Pola Pikir

Suara Merdeka, 18 Oktober 2008

Setiap tahun, ribuan sarjana diwisuda baik di perguruan tinggi negeri maupun swasta. Namun, meningkatnya jumlah sarjana dari tahun ke tahun membuat pasar tenaga kerja di sektor formal, kewalahan dalam menampung semua sarjana tersebut. Akibatnya, sejumlah alumni universitas tersebut harus memperoleh predikat “sarjana pengangguran”.

Salah satu pekerjaan di sektor formal yang diincar para sarjana adalah Pengawai Negeri Sipil (PNS). Setiap tahun, ribuan lulusan universitas mendaftar, bila lowongan penerimaan PNS dibuka. Para pendaftar ini memiliki beragam motivasi menjadi PNS. Salah satu yang utama adalah pertimbangan bahwa menjadi PNS akan lebih aman secara finansial. Selama periode waktu tertentu, misal sebulan, sudah dipastikan akan memperoleh gaji untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Belum lagi bila sudah pensiun, mantan PNS tetap memperoleh penghasilan yang disebut gaji pensiun.

Oleh karenanya, tampaknya masih sangat sulit menyilaukan mata mahasiswa untuk berpaling dari PNS. Pola pikir mahasiswa masih lebih banyak memilih bidang pekerjaan yang bergerak di sektor pemerintahan karena menganggap bekerja di sektor tersebut akan menjadikan keadaan finansial pribadi atau keluarga mereka lebih terjamin.

Padahal, bekerja di luar pemerintahan bukanlah kiamat. Justru, seiring dengan perkembangan zaman, kantong-kantong duit biasanya lebih banyak di sektor swasta. Oleh karenanya, banyak pula yang tertarik masuk di perusahaan swasta dengan iming-iming mendapat gaji tinggi. Namun, jumlah penerimaan pengawai di sektor tersebut relatif sangat kecil, sehingga persaingan yang ketat membuat banyak pendaftar terlempar. Nah, orang-orang yang terlempar dan orang-orang yang merasa tidak bisa bersaing ini, ikut daftar di pengawai pemerintahan karena menganggap tingkat persaingannya relatif lebih rendah.

Namun, yang hilang adalah semangat para sarjana untuk menjadi wirausaha. Pola pikir mereka selalu berputar pada bagaimana mendapat pekerjaan yang nyaman, gaji terjamin, dan segala fasilitas yang sudah disediakan dari pemberi kerja. Sangat jarang yang ingin menjadi wirausaha, yakni dengan membuka pekerjaan di mana dapat membuka pula kesempatan kerja untuk orang lain.

Padahal, secara nasional, kewirausahaan dapat menjadi pendorong kemajuan ekonomi suatu bangsa. Mengutip pendapat Prof Didik J. Rachbini, masalah kewirausahaan merupakan persoalan paling penting di dalam perekonomian suatu bangsa yang sedang membangun. Jika suatu bangsa tidak memiliki modal manusia ini, maka jangan berharap ada kemajuan yang berarti pada bangsa tersebut. Begitu pentingnya kewirausahaan, sehingga dianggap sebagai tonggak maju suatu bangsa. Nah, tunggu apa lagi wahai para sarjana, lekaslah berwirausaha agar bisa meningkatkan kemajuan finansialmu serta mendorong kemajuan bangsamu.

17 Oktober, 2008

Menghindari Jurang Krisis

Kompas Yogyakarta, 17 Oktober 2008

Dengan karakteristik small open economy, Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh percaturan ekonomi global. Kasus Subprime Mortgage yang mengantarkan ekonomi AS ke jurang resesi, juga ikut menggoyang stabilitas ekonomi nasional khususnya di sektor keuangan. Lantas, bagaimana agar Indonesia tidak ikut terperosok ke jurang tersebut?

Krisis 1997 memberi banyak pelajaran pada bangsa ini mengenai cara menghadapi gejolak ekonomi. Krisis ini bukan muncul di Indonesia, tapi di Thailand. Rembetan dari Thailand menuju ke sejumlah negara Asia lainnya, termasuk Indonesia telah memberikan efek yang berbeda di masing-masing negara. Boleh dibilang, perekonomian Indonesia mendapat efek negatif paling besar di antara negara-negara lainnya. Sebab, jantung ekonomi nasional yakni perbankan mengalami kebangkrutan, sehingga berimbas pula pada sektor riil. Akibatnya, negara-negara lain sudah pulih dari krisis, Indonesia masih terkapar dan tertatih-tatih menuju kebangkitan ekonomi.

Model yang sama ditemui saat ini. Krisis lembaga finansial ini terjadi di Amerika Serikat ditandai dengan bangkrutnya sejumlah bank investasi. Masalahnya, krisis finansial di AS akan berimbas pula pada sektor finansial di Indonesia, terutama pasar saham dan valuta asing. Hal ini tidak dapat dimungkiri karena integrasi pasar keuangan dunia disertai dengan liberalisasi pasar finansial memuluskan hal tersebut terjadi. Pun, karena orang asing merupakan penguasa modal dominan di bursa saham. Mereka sangat sensitif dengan gejolak ekonomi di AS sehingga terdorong melakukan aksi jual. Adapun pelarian kapital ke luar akan meningkatkan permintaan dolar terhadap rupiah, sehingga rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS.

Nah, agar bangsa ini tidak ikut terperosok ke jurang krisis, hal pertama yang harus dilakukan adalah menyelamatkan sektor finansial kita. Agar krisis 1997 tidak terulang kembali, pemerintah harus menjaga sistem perbankan agar tetap berjalan sebagaimana mestinya. Kepercayaan nasabah harus dijaga, salah satunya dengan memberikan jaminan simpanan yang lebih tinggi. Langkah ini sudah dilakukan pemerintah, yakni menaikkan level simpanan yang dijamin sampai Rp 2 miliar dari sebelumnya hanya Rp 100 juta. Dengan jaminan ini, nasabah akan tetap percaya pada bank, sebagai tempat mereka menitipkan uang.

Hanya saja, ironis bila pemerintah menaikkan suku bunga BI yang hingga kini mencapai level 9,5 persen. Alasan pemerintah, dalam hal ini BI, adalah untuk menekan inflasi 2009 agar sesuai targetnya. Namun, sektor riil lah yang menjadi korban terhadap naiknya suku bunga acuan tersebut. Selain itu, gejolak ekonomi global juga berimbas pada ekspor dan impor yang bisa menurunkan pertumbuhan.

Di sisi ekspor, semestinya terjadi kenaikan pendapatan karena harga produk domestik relatif lebih rendah di luar negeri. Akan tetapi, di masa krisis, permintaan luar negeri terhadap produk domestik pun ikut berkurang, sehingga volume ekspor turun. Langkah yang harus dilakukan adalah melakukan diversifikasi negara tujuan ekspor. Selama ini, negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia, dan sejumlah negara Eropa Barat menjadi tujuan ekspor utama. Ke depan, pemerintah perlu memperluas diversifikasi tujuan ekspor terutama ke negara-negara Timur Tengah, yang saat ini kelebihan likuiditas.

Dampak lebih parah lagi dilihat di sisi impor, sebab harga yang dibayarkan terhadap produk impor relatif lebih tinggi dibanding sebelumnya. Akibatnya, produk impor khususnya yang digunakan untuk bahan baku industri menjadi lebih mahal, sehingga harga-harga barang ikut naik. Sehingga, ketergantungan pada produk impor juga harus dikurangi sedikit demi karena hal tersebut akan mengurangi cadangan devisa nasional.

Oleh karenanya, langkah antisipasi di sektor finansial terutama perbankan merupakan langkah pertama yang harus dilakukan. Sedangkan di sektor riil, pemerintah perlu menjaga surplus neraca perdagangan, dengan meningkatkan volume ekspor dan mengurangi ketergantungan pada produk impor. Sejumlah strategi inilah yang bisa menghindarkan Indonesia dari jurang krisis.

15 Oktober, 2008

Intervensi Pemerintah di Masa Krisis

Seputar Indonesia, 13 Oktober 2008

Dalam ilmu ekonomi, mekanisme pasar merupakan suatu cara dalam menyelesaikan masalah ekonomi. Pada masa krisis misalnya, pilihannya ada dua, apakah membiarkan mekanisme pasar bekerja sendiri atau pemerintah mengintervensi pasar untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Membiarkan masalah ekonomi diselesaikan melalui mekanisme pasar saja bukanlah pilihan tepat. Terbukti, depresi besar yang pernah terjadi pada kurun waktu 1929-1933, tidak mampu diselesaikan melalui mekanisme pasar. Sehingga saat itu, timbul suatu pemikiran baru dalam ilmu ekonomi, yakni perlu intervensi pemerintah untuk mengembalikan peran mekanisme pasar. Dengan adanya intervensi, depresi besar pada tahun 1930-an tersebut bisa diatasi. Dunia pun selamat dari kehancuran.

Saat ini, fenomena yang sama kembali berulang. Ekonomi global sedang dilanda krisis. Berbagai pendapat mengemuka, setelah melihat indikator yang ada, bahwa fenomena ekonomi ini merupakan yang terparah setelah depresi besar 1930. Kejatuhan pasar finansial AS, yang disebabkan oleh dampak krisis perumahan (subprime mortgage), telah berujung pada dampak krisis ekonomi yang parah. Sejumlah lembaga keuangan, terutama bank investasi seperti Lehman Brothers sudah dinyatakan bangkrut. Pemerintah AS pun bereaksi dengan menyuntikkan dana sejumlah USD 700 miliar. Ini merupakan suatu cara pemerintah mengintervensi perekonomian yang sedang dilanda krisis.

Di Indonesia, fenomena yang berbeda kita temui. Memang Indonesia tidak mendapat pengaruh langsung dari krisis keuangan AS, tapi secara tak langsung dampak negatif itu kita peroleh. Dalam masa krisis ini, para investor yang notabene dominan pihak asing, bereaksi dengan melakukan aksi jual saham. Kekhawatiran mereka beralasan, sebab kondisi ekonomi Indonesia berpotensi buruk karena pengaruh krisis finansial AS. Oleh karenanya, menarik aset di pasar modal jauh lebih aman bagi investor asing. Namun hal ini tidak hanya berdampak negatif di pasar modal berupa penurunan IHSG, tapi juga di pasar valuta asing di mana permintaan dolar AS meningkat. Fenomena ini membuat rupiah melemah. Terbukti, nilai tukar rupiah terhadap dolar sempat mencapai Rp. 10.000, meski tetap turun saat penutupan.

Menghadapi kondisi ini, tentu pemerintah tidak semestinya berdiam diri. Terlalu mahal harganya bila menunggu mekanisme pasar menyelesaikan segalanya. Hanya saja, memang tidak bisa dimungkiri kalau intervensi kadang kala makin memperkeruh suasana. Tapi, sekali lagi, lebih besar risikonya bila kita tidak melakukan apa-apa. Paling tidak, kita bisa belajar dari krisis 1930-an, di mana intervensi pemerintah dengan jalan stimulus mampu menggairahkan kembali perekonomian. Cara yang berbeda untuk menyelesaikan masalah yang berbeda pula.

Saya pikir, kuncinya terletak pada cara pemerintah mengintervensi pasar. Bukankah intervensi pasar harus dilakukan bila mekanisme pasar tidak bekerja secara normal? Sedangkan, terjadinya krisis karena pasar tidak bekerja secara normal. Nah, bila menggunakan logika ini, maka intervensi dibutuhkan dalam masa krisis. Masalah yang sesungguhnya adalah bagaimana cara mengintervensi. Sedangkan cara mengintervensi sangat tergantung pada kemampuan pemerintah mengidentifikasi permasalahan. Bila identifikasinya keliru, maka jangan harap keberhasilan dari kebijakan intervensi tersebut. []